Anak-anak berbakat masih menjadi istilah yang kurang populer di Indonesia. Banyak orang yang fokus pada anak-anak gangguan perkembangan yang mengalami masalah di sekolah, seperti Autism, ADHD, learning disabilities, dan gangguan lainnya. Term anak berbakat menjadi istilah yang cukup sulit karena masih banyak pertimbangan yang dipikirkan untuk bisa mendeteksi seseorang dinyatakan sebagai anak berbakat. Bagaimana menanggapinya?
Tag: parenting

Menjadi orang tua menjadi suatu hal yang mungkin paling ditunggu ketika memasuki dunia pernikahan. Meski demikian, menjadi orang tua merupakan suatu hal yang mungkin tidak gampang. Menurut penulis, proses parenting merupakan proses pembelajaran bagi orang tua seumur hidup. Mengapa? Karena dalam setiap perubahan tahapan perkembangan, seorang anak akan memiliki tugas perkembangan tertentu yang tentunya akan membawa berbagai perubahan dalam kehidupan.

Pertanyaan tersebut terlontar dari muluta salah satu keponakan penulis yang saat itu berusia 4 tahun. Ia menanyakan keberadaan kakeknya, yang biasa ia panggil “Genpa”, setelah satu tahun kakeknya meninggal. Ibunya menceritakan bahwa setelah satu tahun kakeknya berpulang, sang anak beberapa kali menanyakan keberadaan kakeknya. Sang ibu lalu memberikan penjelasan bahwa Genpa pergi ke surga. Bagi anak yang berumur 4 tahun, konsep surga merupakan hal yang belum sepenuhnya dimengerti. Lalu, bagaimana cara yang lebih tepat dalam menjelaskan kematian pada balita?

Orangtua seringkali kebingungan ketika melihat perubahan perilaku pada anak yang sudah beranjak remaja. Terkadang juga tidak habis pikir dengan pola pikir ataupun buah pikiran yang dihasilkan oleh anak remajanya ini. Terjadi perdebatan-perdebatan mengenai permasalahan sehari-hari, terkadang perdebatan tersebut hanyalah mengenai pekerjaan rumah seperti mencuci piring yang menurut oragtua harusnya bisa segera diselesaikan tapi anak merasa bahwa pekerjaan itu lebih baik diselesaikan nanti saja. Ataupun mungkin saja mengenai jam tidur yang terlalu malam, jam bangun tidur yang terlalu siang, dan lain-lain.

Memiliki anak seringkali dianggap menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi pasangan menikah. Apalagi bagi pasangan yang tinggal di lingkungan dengan nilai pro natalis (mendukung kelahiran) yang kuat seperti Indonesia. Namun demikian, ternyata sebuah riset empiris yang dilakukan di Jerman menunjukkan bahwa tidak selalu pasangan orangtua lebih bahagia dibandingkan pasangan yang tidak memiliki anak. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengapa kehadiran anak tidak berdampak pada meningkatnya kebahagiaan pada orangtua. Secara khusus, penelitian yang diterbitkan tahun 2014 tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana cost yang dikeluarkan dalam membesarkan anak berperan dalam menurunkan kepuasan hidup. Lalu, mengapa kehadiran anak yang secara umum dianggap mendatangkan kebahagiaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya?