Pernahkah Anda membayangkan hidup dalam dunia di mana warna-warni pelangi tak lagi memukau, atau ketika memilih pakaian menjadi tugas yang membingungkan? Bagi jutaan penderita buta warna di seluruh dunia, ini adalah realitas sehari-hari. Lebih dari sekadar ketidakmampuan membedakan warna, kondisi ini membawa beban psikologis yang sering kali luput dari perhatian masyarakat. Dari kesulitan mengenali rambu lalu lintas hingga hambatan dalam memilih karir, penderita buta warna menghadapi tantangan unik yang dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan mental dan kualitas hidup mereka.
Category: Ringkasan penelitian

Pernahkah Anda berjalan atau bersepeda di area perbukitan dengan kontur tanah naik – turun? Pada saat menuju puncak bukit atau menuju dataran yang lebih tinggi, Anda hampir dipastikan mengeluarkan lebih banyak energi daripada saat menuju lembah atau dataran yang lebih rendah. Ada kepuasan tersendiri yang Anda rasakan ketika pada akhirnya berada di puncak ketinggian. Lalu, apa setelah itu?

Dalam era digital saat ini, kehadiran smartphone sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir semua orang memiliki smartphone dan menggunakannya untuk berbagai keperluan, mulai dari berkomunikasi dengan teman dan keluarga, mencari informasi, hingga hiburan. Namun, meski memberikan banyak manfaat, penggunaan smartphone juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap kemampuan kognitif manusia. Benarkah ponsel cerdas justru membuat kita lebih tidak cerdas?

Kita tentu familier dengan pandangan bahwa untuk mencapai kesuksesan diperlukan kerja keras. Bahkan kita memiliki peribahasa, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” yang bisa diartikan bahwa untuk memperoleh kesuksesan kita perlu bekerja keras terlebih dahulu. Memang, sepertinya mustahil melihat orang-orang yang bermalas-malasan menjadi sukses. Namun, apakah dengan kerja keras saja cukup untuk mencapai kesuksesan?

Penyandang disabiltas di Indonesia masih terus menghadapi tantangan besar dalam kehidupan sosialnya. Berbagai upaya advokasi lembaga-lembaga negara maupun swadaya masyarakat terus menemukan adanya stigma, keterbatasan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, serta belum terpenuhinya sejumlah hak penyandang disabilitas. Di tengah berbagai tantangan tersebut, ternyata keluarga memiliki peranan yang sangat besar. Bagaimana sebaiknya peran keluarga penyandang disabilitas dapat dioptimalkan?

“And they live happily ever after.” Demikianlah biasanya tulisan dalam lembar terakhir buku cerita dongeng, biasanya tersurat ketika tokoh utama dongeng tersebut menikah. Seringkali cerita akan ditutup dengan adanya pesta pernikahan meriah yang menggambarkan sukacita ataupun sorotan kepada kedua sejoli yang berbahagia. Di situlah kisah berakhir.

Dalam keseharian, kita melihat orang yang mengenakan atribut agama akan kita sebut sebagai orang yang relijius. Orang yang terlihat melakukan ibadah di tempat ibadah umum juga akan disebut sebagai relijius. Hal ini juga terlihat pada para terdakwa yang duduk di kursi pengadilan yang mengenakan baju lengkap dengan ornamen keagamaan. Mengapa menjadi “relijius” seakan menjadi hal penting?

Pembahasan mengenai multikulturalisme di Indonesia mengundang keasyikan tersendiri, terutama jika kita menggunakan berbagai sudut pandang yang berbeda. Tulisan Johanes Yotam dan Eko Meinarno di edisi psyence.id sebelumnya mengenai multikulturalisme dapat dikategorikan sebagai buah pikir optimistis atas multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme dijelaskan dapat dibangun dan dibentuk, memiliki banyak keuntungan psikologis, dan lain-lain. Bahkan pada tataran pembentukan rasa kebangsaan, tampaknya multikulturalisme adalah jawaban yang paling tepat saat ini. Namun, apakah membangun cara pikir multikulturalisme itu tidak mempunyai hambatan?

Perspektif psikologi agak jarang dijadikan sarana untuk berkontribusi terhadap isu multikulturalisme. Padahal multikulturalisme diawali dari bagaimana individu melihat, merasakan, memahami, dan akhirnya bertindak terhadap keberagaman sosial yang ada. Secara khusus di Indonesia, tiap orang akan selalu beradaptasi dengan orang lain. Dimulai dari harus mengenali, memahami, dan menganalisis teman barunya.

Kepadatan dan kerumunan merupakan wajah yang melekat pada kehidupan kota. Kondisi yang ramai dan hiruk pikuk mengisi setiap sudut kota besar seperti Jakarta merupakan tantangan psikologis tersendiri bagi para penduduknya. Akibat kepadatan urban yang tak terhindarkan ini, Sejumlah peneliti melaporkan bahwa jika dibandingkan masyarakat di pedesaan, masyarakat perkotaan lebih rentan mengalami environmental stress—keadaan stres yang muncul ketika individu berhadapan dengan tuntutan berasal dari lingkungan yang meminta individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada. Bagaimana bisa begitu?