Masih ingatkah Anda dengan kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang mewajibkan siswa-siswi SMA dan SMK masuk sekolah pada pukul 05.00 pagi? Ya, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian orang tua menganggap kebijakan ini memberatkan mereka. Sejumlah protes pun bermunculan menanggapi keputusan yang kontroversial ini. Sudah tepatkah untuk menetapkan waktu aktivitas belajar murid sedini itu?
Category: Psikologi Perkembangan

Tahukah Anda kapan anak mulai mengenal cita rasa makanan? Sebagian besar orang mungkin mengira bahwa anak mulai mengenal cita rasa makanan pada saat mereka dikenalkan dengan MPASI (makanan pendamping ASI). Beberapa orang mungkin berpikir bahwa anak mulai mengenal cita rasa makanan pada saat menyusui. Jadi, mana yang lebih tepat?

Usia keemasan atau golden age merupakan periode yang terjadi ketika anak masih berada di masa usia dini, yaitu ketika anak berusia 0-6 tahun. Pada masa golden age inilah otak berkembang pesat (eksplosif). Sejak lahir, otak anak tidak membentuk sel saraf otak kembali, namun pada masa ini terjadi penutupan akson sel saraf dan pembentukan hubungan antar sel, di mana dua hal tersebut berperan penting terhadap kecerdasan anak. Penelitian menyebutkan bahwa kapabilitas kecerdasan manusia terjadi atau terbentuk dengan pesat pada awal kehidupan. Lebih spesifiknya, 50% diantaranya terbentuk ketika manusia berusia 4 tahun, dan mencapai 80% pada usia 8 tahun. Lalu, bagaimana peran orangtua dalam mengoptimalkan usia emas anak?

Beberapa dari kita seringkali bertanya-tanya “Apa yang akan terjadi kalau kita mengambil keputusan yang berbeda dalam hidup?”. Wujud pertanyaannya bisa diajukan dalam berbagai konteks, seperti pekerjaan “Bagaimana ya kalau dulu lebih memilih masuk ke perusahaan A dibandingkan tempat kerja sekarang?” Mungkin juga dalam hubungan asmara “Bagaimana ya jika dulu bertahan dengan mantan pacar dan tidak putus?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat kita mengingat kembali hal-hal yang sudah dilalui. Seringkali juga diikuti dengan membuat skenario dari pilihan lain yang tidak kita ambil saat itu, atau disebut juga skenario “what if”. “What if” menjadi tanda bahwa ada hal yang kita bandingkan dari masa sekarang dengan kemungkinan lain di masa lalu yang tidak kita pilih.

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Oleh karena itu, orang tua umumnya ingin mengetahui setiap aspek kehidupan anak, seperti bagaimana proses belajarnya di sekolah, dengan siapa saja ia berteman, dan apa masalah yang sedang sedang dialami anak, agar orang tua dapat memastikan anak mereka dalam kondisi yang baik. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, anak ternyata semakin membutuhkan privasi di dalam hidupnya. Kebutuhan ini umumnya akan semakin intens saat anak memasuki usia remaja.

Saat sedang scrolling artikel di media sosial, penulis menemukan pertanyaan ini: “Apakah Anda lebih memilih membesarkan anak yang bahagia (happy child) atau anak yang resilien (resilient child)?” Sejenak penulis berpikir, tentu saja baiknya anak yang bahagia dan resilien. Namun, seringkali pola asuh orang tua cenderung jatuh ke salah satu di antaranya. Jika ingin anak bahagia, manjakan agar ia senang; jika ingin anak resilien, didiklah dengan keras agar ketika ia menghadapi kesulitan dalam hidup ia sudah terlatih. Namun, apakah betul demikian? Apakah ada cara membesarkan anak sehingga ia menjadi anak yang bahagia dan sekaligus resilien?

Masa remaja dikenal sebagai suatu tahap atau proses kehidupan seseorang, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa remaja akan mengalami perubahan baik secara fisik, psikis, sosial maupun emosional. Oleh karena itu tahap perkembangan remaja penting dalam fase kehidupan seseorang. Riset menunjukkan bahwa adanya pengalaman yang kurang baik, kegagalan, maupun realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasi membuat remaja yang menjalin relasi sosial dapat menyebabkan remaja merasa gagal, tidak dihargai, tidak diterima, bahkan degradasi kepercayaan diri yang pada akhirnya menyebabkan remaja tersebut menjadi tertekan, stres dan tidak sejahtera.

Setiap tahun ratusan ribu anak menjadi korban atau menyaksikan suatu kejahatan. Beberapa di antaranya kemudian menjadi saksi dalam penyelidikan forensik dan kasus hukum. Namun, mempercayai kesaksian seorang anak cukup menjadi dilema bagi penegak hukum. Kesaksian saksi mata anak-anak ibarat pedang bermata dua. Apa maksudnya?

Pertanyaan tersebut terlontar dari muluta salah satu keponakan penulis yang saat itu berusia 4 tahun. Ia menanyakan keberadaan kakeknya, yang biasa ia panggil “Genpa”, setelah satu tahun kakeknya meninggal. Ibunya menceritakan bahwa setelah satu tahun kakeknya berpulang, sang anak beberapa kali menanyakan keberadaan kakeknya. Sang ibu lalu memberikan penjelasan bahwa Genpa pergi ke surga. Bagi anak yang berumur 4 tahun, konsep surga merupakan hal yang belum sepenuhnya dimengerti. Lalu, bagaimana cara yang lebih tepat dalam menjelaskan kematian pada balita?

“Self love itu boleh nggak sih?”, “Ntar kita jadi egois kalau self love?”, “Nanti kalau kita self love, orang gak suka lagi sama kita?” Ungkapan di atas sering sekali terdengar ketika membahas mengenai self love. Baru-baru ini, sekumpulan anak-anak muda kurang lebih usia 18-25 tahun di salah satu komunitas gereja di Jakarta mulai menunjukkan kesadaran akan perlunya untuk melakukan self love. Ketika dilakukan survey ke beberapa anak muda, beberapa menjawab bahwa perlu untuk melakukan self love tapi beberapa ragu untuk melakukannya.