Pengalaman traumatis menimbulkan luka dan rasa sakit secara psikologis. Situasi traumatik dapat diartikan sebagai pengalaman di mana seseorang mengalami situasi yang mengancam keselamatan dan membahayakan seseorang atau orang di sekitarnya. Banyak literatur dan praktik yang telah dilakukan untuk memulihkan seseorang dari luka traumanya. Melalui perjalanan pemulihan, seseorang dapat mengalami pertumbuhan pasca trauma atau yang dikenal juga sebagai posttraumatic growth (PTG). Apa itu PTG?
Category: Psikologi Klinis

Seorang ibu, kita panggil saja Mawar, memiliki pandangan yang ideal mengenai pengasuhan dan berbagai rencana dalam hidup, terutama yang berkaitan dengan keluarga dan anak. Ia mengira bahwa hidup akan penuh dengan bunga dan pelangi. Atau dengan kata lain, semua akan indah dan berjalan sesuai rencana. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Rencana yang dibuatnya tidak berjalan dengan mulus, berakhir berantakan, bahkan disertai dengan dampak pada kesehatan mental dan fisiknya, seperti kelelahan, burnout, hingga stres yang berlarut-larut. Reaksi emosional seperti kecewa, marah dan sedih pun rentan untuk terjadi. Apakah Anda pernah mengalami hal serupa?

Kontak mata adalah perilaku komunikasi nonverbal yang penting yang sebagian besar dari kita menggunakannya dalam interaksi sosial. Kita tahu bahwa kontak mata membantu orang untuk mengkomunikasikan minat dan ketertarikan mereka terhadap pasangan berkomunikasi. Kontak mata juga penting untuk mengkomunikasikan ketertarikan dalam berinteraksi sosial dengan seseorang. Seringkali, kita harus menjaga kontak mata untuk memahami dan merespon terhadap petunjuk sosial dari orang lain. Kegagalan dalam melakukan kontak mata juga bisa disalah artikan oleh orang lain sebagai tidak tertarik ataupun tidak memperhatikan. Bagaimana dengan mereka yang hidup dengan autisme?

Trigger Warning: Harap diperhatikan: artikel ini mungkin berisi pembahasan tentang bunuh diri, dan/atau referensi gangguan kesehatan mental lain yang mungkin menjadi pemicunya. Silakan lanjut membaca sesuai dengan pertimbangan Anda sendiri. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan prevalensi kasus bunuh diri di Indonesia adalah 2,6 kejadian per 100 ribu penduduk, yang mana temasuk kategori rendah. Hasil riset mengenai bunuh diri di Indonesia mengemukakan bahwa keluarga pelaku bunuh diri cenderung enggan mengungkapkan fakta bahwa telah terjadi kasus bunuh diri dalam keluarganya karena merasa malu terhadap stigma negatif yang mungkin akan disematkan ke mereka. Fenomena ini memicu munculnya dugaan banyak kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan secara resmi sehingga mengesankan prevalensi bunuh diri di Indonesia berada dalam kategori rendah.

Setelah aktris terkenal Marilyn Monroe ditemukan meninggal dunia pada 4 Agustus 1962 di kediamannya karena bunuh diri, terjadi peningkatan kasus bunuh diri sebesar 12% di Amerika Serikat pada bulan kematian Monroe. Fenomena serupa juga terjadi setelah kematian aktor Robin Williams pada 12 Agustus 2014. Williams ditemukan menggantung dirinya sendiri hingga tidak dapat bernafas. Tidak lama setelah itu, terjadi peningkatan jumlah kasus bunuh diri sebesar 10% di Amerika Serikat. Pelaku bunuh diri tersebut pada umumnya pria (jenis kelamin sama dengan William) dan menggunakan metode yang serupa dengan yang dilakukan oleh komedian terkenal itu. Fenomena bunuh diri yang terjadi dalam situasi di atas dikenal dengan nama copycat suicide. Mari kita bahas lebih lanjut fenomen ini.

Konflik dalam relasi romantis bisa saja terjadi, ada yang menyatakan bahwa konflik tersebut bisa menyebabkan keretakan hubungan, sementara ada yang percaya bahwa dengan adanya konflik hubungan tersebut malahan semakin kuat. Sebuah perilaku yang disebut berkorban dalam hubungan romantis dilansir sebagai sebuah komponen yang penting karena dapat menjadi alternatif solusi ketika pasangan menghadapi konflik.

Di dunia yang makin bergerak cepat dan saling terkait secara digital saat ini, menemukan cara yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis menjadi lebih penting dari sebelumnya. Dalam hal ini, teknologi turut berperan penting. Salah satu hasil pengembangan teknologi yang mulai banyak dimanfaatkan untuk intervensi kesehatan mental adalah virtual reality (VR). Selama ini, VR lebih banyak dilihat sebagai perangkat game dan juga entertainment. Padahal, sejatinya VR memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis secara signifikan. Mari kita jelajahi bagaimana melangkah ke dunia virtual dapat membuka jalan menuju kesehatan mental yang lebih baik.

Bunuh diri telah menjadi suatu permasalahan perilaku yang seringkali dijumpai pada kehidupan masa sekarang ini. WHO mencatat bahwa ada satu kematian tiap 40 detik karena bunuh diri setiap tahunnya. Bahkan, secara lebih lanjut bunuh diri telah menjadi penyebab kematian urutan kedua dalam rentang usia 15-29 tahun dengan 79% kasus yang terjadi pada negara berpendapatan rendah hingga menengah. Hal tersebut menjadikan kaum muda sebagai kelompok populasi yang sangat riskan untuk bisa dengan mudahnya mengakhiri hidup. Dalam memprediksi kasus bunuh diri, kajian mengenai ide bunuh diri (suicidal ideation) sebagai awalan dari perilaku ekstrem tersebut menjadi penting. Tidak hanya itu, perlu diketahui pula cara yang bisa diupayakan agar meminimalisir munculnya ide bunuh diri.

“Saya merasa belum terlalu kenal sama teman-teman, karena biasanya cuma ngobrol online lewat (Microsoft) Teams atau chat, dan belum pernah ketemu langsung.” Ini adalah salah satu komentar yang pernah saya dapatkan saat berbicara secara informal dengan beberapa mahasiswa yang saya ajar. Pandemi selama dua tahun memang memberikan dampak pada interaksi manusia, termasuk interaksi mahasiswa selama perkuliahan. Namun, tahun ini mahasiswa akan kembali lebih banyak melakukan pertemuan secara langsung (luring) setelah sekian lama mereka hanya bertemu melalui layar atau pesan singkat. Ada yang sudah tidak sabar hal ini terjadi, tetapi ternyata ada juga yang mengalami kebingungan atau bahkan cemas dengan situasi harus bertemu orang lain secara langsung.

Usia muda seperti remaja merupakan periode di mana seseorang mengalami banyak perubahan dari aspek fisik, sosial, maupun emosional. Usia muda juga merupakan usia di mana isu kesehatan mental mulai banyak muncul dalam diri seseorang, di antaranya gangguan kecemasan dan depresi. Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menemukan bahwa usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia yang berada pada urutan keempat tertinggi dari tujuh kelompok usia dengan depresi dan gangguan mental emosional. Namun kelompok usia ini ternyata memiliki angka paling rendah dalam pengobatan depresi (5,25%). Hal ini juga didukung dengan pernyataan WHO di tahun 2021 bahwa secara global 1 dari 7, sekitar 14%, individu berusia 10 – 19 tahun mengalami kondisi-kondisi kesehatan mental yang sebagian besar tidak ditangani.