Konser musik seharusnya menjadi momen penuh euforia dan kebersamaan, tetapi bagaimana jika kegembiraan itu berubah menjadi kerusuhan? Inilah yang terjadi pada konser Bring Me The Horizon (BMTH) di Jakarta, 10 November 2023 yang lalu. Setelah hanya 45 menit berlangsung, konser terpaksa dihentikan karena masalah teknis. Alih-alih pulang dengan tenang, penonton merespons dengan kemarahan: botol minuman beterbangan, properti konser dirusak, dan panggung diserbu. Apa yang membuat sekelompok orang yang datang untuk bersenang-senang tiba-tiba berubah menjadi agresif secara kolektif?
Ketika seseorang berada dalam kerumunan, perilakunya sering kali berbeda dibandingkan saat ia sendirian. Dalam situasi kelompok, individu cenderung lebih mudah terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya. Fenomena ini dikenal sebagai social influence, yaitu proses interpersonal yang mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang. Dalam kasus konser BMTH, kekecewaan yang dirasakan oleh satu penonton dengan cepat menyebar ke penonton lainnya. Meskipun tidak semua penonton awalnya berniat untuk bersikap agresif, tekanan dari kelompok membuat mereka ikut terlibat dalam aksi vandalisme.
Fenomena ini juga berkaitan dengan konsep majority influence, di mana tekanan dari mayoritas kelompok memengaruhi anggota lainnya untuk menyesuaikan perilaku mereka. Ketika sebagian besar penonton mulai melempari botol atau merusak properti, individu yang awalnya ragu pun merasa “terpaksa” untuk mengikuti. Hal ini diperkuat oleh faktor kebulatan suara, di mana pendapat atau tindakan mayoritas dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa ditentang. Dalam situasi yang ambigu—seperti konser yang tiba-tiba dihentikan—individu cenderung lebih mudah terpengaruh oleh kelompok karena tidak ada panduan jelas tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak.
Budaya juga memainkan peran penting dalam menjelaskan perilaku agresif penonton konser BMTH. Sebagai negara dengan budaya kolektivis, masyarakat Indonesia cenderung mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Menurut penelitian, budaya kolektivis seperti ini membuat individu lebih rentan terhadap konformitas, yaitu kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok demi menjaga keharmonisan. Dalam kasus BMTH, penonton yang sebenarnya tidak setuju dengan aksi vandalisme mungkin merasa tertekan untuk ikut serta agar tidak dianggap “melawan” kelompok.
Selain itu, normative influence atau pengaruh normatif juga turut berperan. Keyakinan bahwa “promotor bertanggung jawab atas situasi ini, sehingga kita harus menunjukkan sikap tegas” menjadi norma yang diinternalisasi oleh kelompok. Individu yang merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut cenderung mengikuti norma ini, meskipun sebenarnya mereka tidak sepenuhnya setuju. Konflik antara keyakinan pribadi dan tuntutan kelompok dapat menimbulkan disonansi kognitif, yaitu ketidaknyamanan psikologis yang muncul ketika seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam kasus ini, penonton yang menentang aksi agresif mungkin tetap ikut serta karena tekanan sosial yang begitu besar.
Individu yang terjebak dalam kerumunan sering kali mengalami konflik internal. Di satu sisi, mereka mungkin meyakini bahwa tindakan agresif itu salah. Namun, di sisi lain, tekanan dari kelompok membuat mereka merasa harus mengikuti agar tidak diasingkan. Fenomena ini diperparah oleh jumlah penonton yang sangat besar. Ketika ribuan orang melakukan hal yang sama, pendapat individu yang menentang menjadi terasa tidak berarti. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian yang menyatakan bahwa individu cenderung melakukan konformitas ketika dihadapkan dengan suara bulat dari kelompok.
Insiden kerusuhan dalam konser BMTH menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kelompok terhadap perilaku individu. Kekecewaan yang awalnya dirasakan oleh sebagian penonton dengan cepat menyebar dan berubah menjadi aksi agresif kolektif. Faktor-faktor seperti majority influence, budaya kolektivisme, dan tekanan normatif memainkan peran kunci dalam memicu perilaku vandalisme. Individu yang sebenarnya menentang aksi tersebut pun terjebak dalam konflik internal, antara keyakinan pribadi dan tuntutan kelompok. Dengan memahami dinamika psikologis ini, kita dapat lebih bijak dalam menanggapi situasi serupa di masa depan, baik sebagai penonton maupun penyelenggara acara.