Employee-Generated Content: Ketika Karyawan Jadi Duta Branding

Citra sebuah perusahaan sebagai tempat kerja kini tidak lagi cukup dibangun lewat laman resmi atau brosur perekrutan. Justru karyawanlah yang sering menjadi “wajah” paling nyata bagi publik. Melalui media sosial pribadi, mereka membagikan pengalaman sehari-hari di kantor—mulai dari cerita kerja, pencapaian, hingga rekomendasi produk. Fenomena ini dikenal sebagai Employee-Generated Content (EGC), yaitu konten yang dibuat dan dibagikan karyawan secara sukarela di akun pribadinya.

EGC bisa berbentuk tulisan, foto, video, atau ulasan. Meski tampak sederhana, konten ini membawa dampak besar. Ia tidak hanya menceritakan keseharian kerja, tetapi juga ikut mengangkat nilai, budaya, dan iklim organisasi. Dengan kata lain, karyawan yang memutuskan untuk berbagi pengalaman di media sosial secara tidak langsung sedang membangun citra perusahaannya.

Sebuah laporan bertajuk State of User-Generated Content 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 50% tim komunikasi dan HR sudah memanfaatkan EGC di berbagai platform media sosial. Alasannya sederhana: konten dari karyawan terasa lebih autentik dan kredibel dibanding promosi resmi perusahaan. Publik lebih percaya pada cerita nyata daripada iklan. Temuan ini sejalan dengan survei Career Arc 2022 yang menyebut 58% pencari kerja mencari informasi tentang perusahaan melalui media sosial. Artinya, pengalaman yang dibagikan karyawan dapat menjadi bahan pertimbangan penting bagi calon pelamar.

Dari sudut pandang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO), EGC bukan sekadar tren digital, tetapi juga mencerminkan perilaku kerja sukarela. Dalam literatur psikologi, perilaku ini dikenal sebagai Organizational Citizenship Behavior (OCB), yakni tindakan yang tidak tercantum dalam kontrak kerja, tetapi tetap memberi kontribusi positif bagi organisasi. Membagikan konten positif tentang tempat kerja di media sosial dapat dipandang sebagai bentuk OCB: karyawan menyumbangkan waktu, energi, dan kreativitas untuk memberi kesan baik pada audiens eksternal, tanpa paksaan atau imbalan langsung.

Bahkan, EGC juga bisa meningkatkan citra produk atau layanan perusahaan. Bayangkan seorang karyawan yang dengan bangga menampilkan hasil kerja timnya atau berbagi pengalaman menggunakan produk internal. Cerita semacam ini menghadirkan keaslian yang sulit ditandingi iklan komersial. Lebih jauh, EGC mencerminkan loyalitas dan keterlibatan emosional karyawan terhadap organisasinya. Mereka merasa keberadaannya bermakna sehingga layak untuk dibagikan kepada publik.

Fenomena ini juga bisa dijelaskan dengan Self-Determination Theory, sebuah teori motivasi yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan. Teori ini menyatakan bahwa motivasi intrinsik akan tumbuh ketika tiga kebutuhan dasar psikologis terpenuhi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial. Dalam konteks EGC, otonomi tercermin ketika karyawan merasa bebas mengekspresikan diri di media sosial. Kompetensi muncul saat mereka bangga membagikan pencapaian atau kontribusi profesional. Sementara itu, keterhubungan sosial hadir karena EGC memungkinkan mereka terhubung dengan audiens yang lebih luas, sekaligus merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar.

Jika perusahaan mampu memenuhi tiga kebutuhan dasar ini, maka motivasi intrinsik karyawan untuk membuat EGC akan tumbuh secara alami. Artinya, mereka akan dengan sukarela menjadi “duta branding” tanpa harus diminta atau diberi insentif. Di era digital, hal ini tentu menjadi keuntungan besar bagi strategi employer branding.

Namun, ada sisi lain yang perlu diperhatikan. EGC sebaiknya lahir dari pengalaman positif. Bila yang dibagikan justru pengalaman negatif, dampaknya bisa berbalik merugikan. Karena itu, peran HR penting untuk memastikan lingkungan kerja kondusif sehingga karyawan merasa nyaman membagikan cerita mereka. Selain itu, perlu ada panduan etika agar konten yang dibuat tetap profesional dan tidak menyinggung nilai-nilai organisasi.

Singkatnya, EGC adalah cerminan kesehatan budaya organisasi. Jika karyawan dengan sukarela membagikan pengalaman positifnya, itu tanda bahwa mereka merasa puas, terhubung, dan dihargai. Dari perspektif psikologi industri, hal ini adalah indikator penting bahwa organisasi tidak hanya berjalan baik secara operasional, tetapi juga kuat secara budaya.

Ketika perusahaan mampu menciptakan lingkungan yang mendukung, karyawan bukan hanya pekerja, tetapi juga komunikator paling autentik. Mereka berbicara dengan suara mereka sendiri—dan justru di situlah kekuatan EGC berada.

Author

Bagikan artikel ini

Artikel terkait