Hubungan Tanpa Status: Antara Kebebasan dan Jerat Psikologis

Di era ketika karier dan kebebasan pribadi sering menjadi prioritas, semakin banyak anak muda memilih hubungan tanpa status (HTS) – sebuah bentuk relasi romantis tanpa label komitmen, maupun tujuan jangka panjang. Data BPS menunjukkan penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 7,5% pada 2022, yang mencerminkan perubahan nilai sosial yang signifikan. Apa sebenarnya yang membuat hubungan tanpa ikatan ini begitu menarik, sekaligus berpotensi menyakitkan?

HTS kerap disamakan dengan pola hubungan kasual lain seperti hookups (pertemuan seksual spontan) atau friends-with-benefits (FWB). Namun, menurut teori cinta Sternberg, ketiganya memiliki perbedaan mendasar. Hookups cenderung fokus pada kepuasan sesaat dengan tingkat keintiman dan komitmen yang rendah, sementara FWB melibatkan konsistensi seksual tanpa keterikatan emosional. HTS, di sisi lain, justru menyerupai hubungan pacaran klasik: ada kedekatan emosional, waktu berkualitas, bahkan keintiman fisik, tetapi tanpa label resmi atau kesepakatan tentang eksklusivitas.

Satu hal yang membedakan HTS adalah “zona abu-abu” yang sengaja dipertahankan. Pasangan mungkin saling mengunjungi keluarga, merayakan hari spesial, atau berlibur bersama, tetapi menolak disebut sebagai kekasih. Ketidakjelasan ini sering memicu pertanyaan seperti, “Apa arti hubungan kita?” atau “Kapan kita akan memutuskan status ini?”—pertanyaan yang justru dihindari dalam HTS.

HTS bukan sekadar hubungan tanpa label, tetapi juga ditandai oleh empat karakteristik yang berpotensi merugikan. Pertama, kaburnya definisi hubungan. Kedua pihak enggan mendiskusikan status, eksklusivitas, atau tujuan jangka panjang. Alasan seperti “Biarkan saja mengalir” atau “Nanti juga pasti jelas sendiri” sering dijadikan tameng, meski sebenarnya menyimpan ketidaknyamanan.

Kedua, batasan yang tidak jelas. Tanpa kesepakatan, pasangan HTS kerap bingung menentukan sejauh mana keintiman fisik diperbolehkan, apakah hubungan ini eksklusif, atau bagaimana cara mengomunikasikan kebutuhan emosional. Misalnya, satu pihak mungkin merasa berhak menuntut perhatian penuh, sementara pihak lain masih aktif menjalin komunikasi dengan orang lain.

Ketiga, komunikasi yang tidak konsisten. Pola interaksi dalam HTS sering fluktuatif: kadang sangat intens, lalu tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan. Perilaku “panas-dingin” ini memicu kecemasan, terutama bagi pihak yang lebih investasi secara emosional.

Terakhir, jebakan zona nyaman. Meski telah dihadapkan pada seluruh kesulitan dan ketidaksepakatan, banyak orang bertahan dalam HTS karena takut kehilangan kedekatan yang sudah terbangun atau khawatir tidak menemukan pengganti. Akibatnya, hubungan ini bisa berlarut-larut selama bertahun-tahun tanpa perkembangan berarti, seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Tidak jarang, apabila hubungan menemukan jalan buntu, maka salah satu pihak akan melakukan ghosting, yaitu strategi di mana salah satu pihak tiba-tiba menghentikan semua komunikasi untuk mengakhiri hubungan tanpa penjelasan

Di balik popularitasnya, HTS menawarkan baik manfaat maupun risiko. Di permukaan, HTS dapat memberikan kebebasan bereksplorasi tanpa tekanan komitmen. Bagi mereka yang fokus pada karier atau belum siap menjalin hubungan serius, ini bisa menjadi pilihan sementara. Ditambah lagi, kehadiran physical atau bahkan sexual intimacy yang dapat timbul dalam HTS semakin mendorong individu untuk tetap berada dalam hubungan yang “tidak ideal” ini karena dapat memenuhi kebutuhan fisio-biologis.

Di saat yang bersamaan, HTS juga sangat berpotensi berakhir dengan dampak psikologis yang kompleks. Salah satu risiko utama adalah emotional distress. Ketidakpastian status hubungan memicu kecemasan kronis, rasa tidak aman, hingga pertanyaan seperti “Apa aku tidak cukup baik untuk diakui sebagai pasangan?”. Selain itu, HTS rentan menyebabkan cognitive distress, seperti kesulitan berkonsentrasi dan ketidakpuasan terhadap hubungan yang sedang dijalani. Seluruh kesulitan tersebut lantas dapat memicu timbulnya konflik pada hubungan dan berdampak negatif pada produktivitas, kepuasan hidup, hingga flourishing individu..

Pada intinya, HTS mencerminkan kompleksitas hubungan modern di tengah perubahan nilai sosial. Meski memberi kebebasan, hubungan tanpa kejelasan ini seringkali meninggalkan luka emosional yang dalam. Dalam jangka panjang, ketiadaan komitmen justru dapat menghambat perkembangan pribadi dan kepuasan hidup. Mungkin yang perlu kita tanyakan bukanlah “status apa hubungan kita?”, tetapi “apakah hubungan ini membuat kita tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik?”

Authors

Bagikan artikel ini

Artikel terkait