Pernahkah Anda merasa gelisah saat tidak memegang ponsel, khawatir ketinggalan berita atau tren terbaru? Atau mungkin, Anda pernah melakukan sesuatu hanya karena semua orang melakukannya? Fenomena ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO)—ketakutan akan kehilangan momen berharga yang dialami orang lain. Tapi, apa sebenarnya yang membuat kita begitu takut tertinggal? Apakah ini sekadar keinginan untuk mengikuti tren, atau ada ketakutan yang lebih mendalam tentang makna hidup kita?
FOMO adalah perasaan cemas bahwa orang lain memiliki pengalaman lebih berharga daripada kita. Akibatnya, kita terus-menerus memantau aktivitas orang lain, baik melalui media sosial maupun percakapan sehari-hari. FOMO sering dipicu oleh akses mudah ke informasi dan tekanan sosial untuk selalu terhubung. Namun, di balik kecemasan ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa kita begitu takut tertinggal? Apakah ini hanya tentang tren, atau ada ketakutan eksistensial yang lebih dalam?
Rollo May, psikolog eksistensial, menekankan pentingnya dasein—cara manusia “hadir” dan “menghayati” keberadaannya di dunia. Menurut May, hidup bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi juga tentang menemukan makna dalam keberadaan kita. Kecemasan eksistensial muncul ketika kita menyadari bahwa hidup kita mungkin kehilangan makna, memicu pertanyaan seperti, “Apa arti hidup saya?”
Dalam konteks FOMO, kecemasan ini bisa muncul karena kita merasa tidak “eksis” jika tidak mengikuti tren atau terlibat dalam aktivitas populer. Teknologi dan media sosial memperparah hal ini, membuat kita terus-menerus membandingkan hidup kita dengan orang lain.
FOMO sering kali mengalihkan kita dari pencarian makna hidup yang otentik. Alih-alih menemukan apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri, kita terjebak dalam upaya untuk “mengejar” validasi dari orang lain. Misalnya, kita mungkin menghadiri acara hanya karena semua orang melakukannya, bukan karena kita benar-benar ingin hadir.
Hal ini menciptakan distorsi dalam pencarian makna. Kita menjadi lebih fokus pada “apa yang orang lain pikirkan” daripada “apa yang benar-benar berarti bagi kita.” Akibatnya, hidup terasa hampa dan tidak memuaskan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan saat terjebak dalam lingkaran FOMO? Pertama, tanyakan pada diri sendiri: “Mengapa saya takut tertinggal? Apakah saya terjebak dalam upaya mencari validasi dari orang lain?” Pertanyaan ini membantu kita menyadari apakah tindakan kita didorong oleh keinginan pribadi atau tekanan sosial.
Kedua, libatkan diri dalam pengalaman yang benar-benar kita nikmati dan bermakna bagi kita. Misalnya, alih-alih menghadiri acara hanya karena populer, pilihlah aktivitas yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai kita. Ini membantu kita hidup lebih otentik dan mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal.
Terakhir, buatlah pilihan dengan tanggung jawab. Dunia modern menawarkan banyak pilihan, tetapi tidak semuanya perlu kita ikuti. Belajarlah untuk memilih berdasarkan apa yang benar-benar penting bagi kita, bukan karena takut tertinggal.
FOMO bukan sekadar tentang ketakutan tertinggal tren, tetapi juga cerminan kecemasan eksistensial kita. Dalam dunia yang penuh dengan informasi dan pilihan, penting untuk tetap berpegang pada nilai-nilai dan makna hidup yang otentik.
Dengan menyadari apa yang benar-benar penting bagi kita, kita bisa mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal dan menemukan kepuasan yang lebih dalam. Hidup bukanlah tentang mengikuti arus, tetapi tentang menciptakan aliran kita sendiri.