Kasus pembunuhan di Palembang oleh empat remaja beberapa waktu lalu menjadi alarm mengerikan tentang bagaimana paparan konten kekerasan dan pornografi bisa berpotensi memicu perilaku kriminal. Meski tidak semua konsumsi pornografi berujung kekerasan, kombinasi faktor seperti tekanan teman sebaya, minimnya pengawasan, dan ketidakstabilan emosional dapat menjadi “bom waktu” bagi remaja yang otaknya masih berkembang. Lalu, bagaimana pornografi mengubah cara otak bekerja, hingga memicu risiko kekerasan seksual?

Mudahnya akses internet membuat konten pornografi semakin mudah dijangkau remaja. Masalahnya, otak remaja—terutama bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan kontrol impuls—masih dalam tahap perkembangan. Penelitian menunjukkan, konsumsi pornografi berlebihan dapat mengurangi volume gray matter di area otak seperti caudate dan putamen, yang berperan dalam mengatur motivasi dan kontrol diri. Akibatnya, remaja menjadi lebih impulsif, sulit menilai risiko, dan rentan mengambil keputusan berbahaya tanpa memikirkan konsekuensi.

Tak hanya itu, pornografi juga mengacaukan sistem reward otak. Layaknya kecanduan, otak yang terbiasa menerima stimulasi intens dari konten pornografi akan terus mencari kepuasan yang lebih ekstrem. Lama-kelamaan, aktivitas sehari-hari seperti belajar atau bersosialisasi terasa membosankan, sementara dorongan untuk mengeksplorasi perilaku berisiko—termasuk agresi seksual—semakin menguat.

Konten pornografi sering kali menampilkan adegan seks yang tidak realistis, bahkan menyisipkan unsur kekerasan dan pemaksaan. Bagi remaja yang belum paham batasan hubungan sehat, tayangan ini bisa menciptakan persepsi bahwa “kekerasan adalah bagian dari seks”. Studi menemukan, remaja yang terpapar pornografi cenderung menganggap persetujuan (consent) tidak penting, serta meyakini bahwa pasangan “pantas dipaksa” jika menolak ajakan seksual.

Fenomena ini diperparah oleh desensitisasi emosional. Remaja yang terbiasa melihat konten eksplisit mungkin kehilangan kepekaan terhadap rasa sakit orang lain. Dalam kasus pembunuhan yang terjadi di Palembang yang telah disebutkan sebelumnya, kombinasi antara paparan konten kekerasan, tekanan teman sebaya, dan minimnya empati bisa menjadi pemicu tindakan kriminal.

Masa remaja adalah periode pencarian identitas, di mana pengakuan dari teman sebaya menjadi prioritas. Dalam kelompok, remaja sering terdorong membuktikan “kedewasaan” dengan meniru perilaku dewasa—termasuk mengonsumsi konten pornografi atau bercerita eksplisit tentang pengalaman seksual. Tekanan ini menciptakan lingkaran setan: semakin sering terpapar, semakin besar keinginan untuk diakui, dan semakin tinggi risiko terlibat perilaku menyimpang.

Mencegah dampak pornografi tidak cukup hanya dengan memblokir akses. Dibutuhkan pendekatan multidimensi, di antaranya:

  1. Peran orang tua: Komunikasi terbuka tentang bahaya pornografi dan seksualitas perlu dibangun tanpa rasa tabu. Orang tua bisa menjelaskan bahwa adegan di pornografi adalah rekayasa, bukan cerminan hubungan sehat.
  2. Pendidikan seks komprehensif: Sekolah harus mengajarkan konsep persetujuan (consent), batasan tubuh, dan cara membangun relasi yang saling menghargai. Pendidikan ini bukan hanya mencegah kekerasan, tetapi juga meluruskan mitos seputar seks yang dipelajari dari konten ilegal.
  3. Dukungan kesehatan mental: Remaja perlu dilatih mengelola emosi dan impuls melalui konseling atau terapi. Kegiatan positif seperti olahraga atau seni juga bisa menjadi saluran energi yang sehat.
  4. Penguatan nilai moral: Agama dan pendidikan karakter membantu remaja membedakan baik-buruk, serta mengembangkan empati. Nilai-nilai ini menjadi tameng saat mereka dihadapkan pada godaan konten berbahaya.

Kasus yang terjadi di Palembang adalah cermin betapa rapuhnya remaja ketika terpapar konten destruktif tanpa filter. Perubahan struktur otak akibat pornografi, ditambah tekanan sosial, bisa mengubah remaja biasa menjadi pelaku kriminal. Namun, dengan kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, kita bisa membangun generasi yang lebih resilien.

Upaya ini tidak hanya bertujuan untuk mencegah perilaku berisiko, tetapi juga untuk membentuk generasi muda yang lebih sehat secara mental, emosional, dan sosial, sehingga mereka mampu membuat keputusan yang lebih baik dan menjauhi perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kuncinya ada pada pencegahan dini: bekali remaja dengan literasi seksualitas, kontrol diri, dan nilai moral—bukan sekadar melarang mereka membuka situs dewasa. Sebab, melindungi masa depan mereka berarti melindungi masa depan bangsa.

Author

  • Rinanda Shaleha

    Lecturer at Universitas Pendidikan Indonesia and a founder of @kumpulmatahari.id She is a Ph.D. student at Pennsylvania State University, sponsored by the Fulbright Scholarship.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait