Pada bagian sebelumnya, kita sudah membahas bagaimana matematika sering kali dianggap menakutkan karena persepsi sosial dan tekanan eksternal. Namun, ketakutan ini juga dipengaruhi oleh cara matematika diajarkan sejak dini. Penting bagi anak untuk memiliki daya lenting atau resiliensi matematika. Apa itu dan bagaimana metode pengajaran bisa membangun “daya lenting matematika” (mathematical resilience) atau justru sebaliknya menumbuhkan kecemasan?
Matematika memiliki “bahasa” khusus berupa simbol, rumus, dan diagram yang hanya bermakna jika dipahami konvensinya. Sayangnya, banyak siswa hanya diajari cara menghitung (pengetahuan prosedural), tanpa mengerti mengapa rumus itu bekerja (pengetahuan konseptual). Misalnya, mereka mungkin hafal rumus luas persegi, tetapi bingung menjelaskan mengapa rumus itu valid. Akibatnya, ketika soal diubah bentuk (misal: dari angka ke cerita), siswa kesulitan mengaplikasikan pengetahuan mereka.
Kecakapan matematika tidak hanya tentang menghitung dengan cepat, tetapi juga melibatkan pemahaman mendalam. Pertama, siswa perlu mengerti logika di balik operasi matematika, seperti mengapa perkalian bisa dianggap sebagai penjumlahan berulang. Kedua, mereka harus mampu menghitung dengan efisien dan akurat. Ketiga, keterampilan merumuskan dan menyelesaikan masalah sangat penting. Terakhir, siswa perlu memiliki keyakinan bahwa matematika bermanfaat dan bisa dikuasai.
Jika guru hanya fokus pada latihan prosedural berulang (misal: menghafal perkalian), siswa mungkin mahir menghitung, tetapi tidak siap menghadapi masalah baru. Penelitian membuktikan bahwa siswa yang diajar dengan metode tersebut cenderung kehilangan minat dan gagal menerapkan ilmu di situasi tidak familier.
Cara siswa memandang kemampuan matematika juga berpengaruh besar. Mereka yang percaya kecerdasan bisa dikembangkan cenderung lebih tekun saat menghadapi kesulitan. Mereka melihat kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Sebaliknya, siswa yang yakin kemampuan matematika “bawaan lahir” mudah menyerah karena menganggap kegagalan sebagai bukti ketidakmampuan.
Kemudian, berkembanglah konsep math resilience sebagai solusi. Daya lenting matematika adalah kemampuan untuk melihat matematika sebagai tantangan yang bisa diatasi, bukan ancaman. Siswa dengan math resilience memiliki ciri-ciri seperti berani meminta bantuan saat kesulitan, percaya bahwa kerja keras akan meningkatkan kemampuan, dan memandang kesalahan sebagai bagian alami dari proses belajar. Untuk membangun ini, guru perlu menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk bertanya dan berdiskusi, bukan sekadar menuntut jawaban benar. Misalnya, dengan memberikan pujian atas usaha, bukan hanya hasil akhir.
Di sisi lain, kecemasan matematika paling terasa saat siswa mengerjakan soal sulit. Ketika otak sibuk mengelola rasa takut dan keraguan diri, memori kerja (working memory) yang seharusnya digunakan untuk berpikir logis justru terkuras. Inilah mengapa siswa cemas sering “blank” meski sebenarnya paham materinya.
Matematika tidak harus menakutkan. Dengan metode pengajaran yang menekankan pemahaman konsep, dukungan pola pikir positif, dan ruang untuk berani gagal, siswa bisa belajar melihat matematika sebagai alat berpikir, bukan momok.
Untuk guru dan orang tua: Kurangi fokus pada kecepatan menghitung. Ajarkan “mengapa” di balik rumus. Rayakan usaha, bukan sekadar hasil akhir. Dengan cara ini, kita tidak hanya mengajarkan angka, tetapi juga daya tahan mental yang berguna seumur hidup.