Generasi Z adalah individu yang lahir tahun 1997-2012. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, 52% Gen Z sudah memasuki dunia kerja. Namun, ada stigma negatif yang melekat bahwa mereka merupakan generasi lemah: mudah menyerah, punya egosentrisme tinggi, dan mau serba instan. Benarkah demikian?

Banyak orang menilai bahwa Gen Z mudah resign dari pekerjaan apalagi ketika mendapat tekanan. Akhirnya, generasi ini dijuluki “kutu loncat” karena berkaitan dengan sikap profesional mereka terhadap pekerjaan dan karier. Istilah ini merujuk pada kebiasaan berpindah-pindah pekerjaan atau tidak bertahan terlalu lama di satu tempat kerja. Hasil survei Jakpat di tahun 2024 melaporkan bahwa 69% Gen Z punya rencana untuk resign dari pekerjaannya. Akan tetapi, fakta mengenai resign ini tidaklah murni karena Gen Z itu lemah ataupun mudah menyerah.

Pada dasarnya, semua karyawan apapun generasinya pasti menginginkan kondisi kerja yang nyaman, misalnya tentang beban kerja dan gaji yang seimbang, kejelasan karir dan lain sebagainya. Gen Z yang berjiwa muda dan idealis biasanya lebih outspoken (percaya diri dalam berbicara) di tempat kerja, khususnya ketika menyuarakan ketidaknyamanan mereka. Hal ini tentu memicu konflik bahkan tekanan dari pemimpin atau rekan kerja yang tidak siap dengan dengan karakter mereka karena dianggap kurang sopan dan gampang mengeluh.

Menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional adalah salah satu prioritas utama Gen Z. Mereka lebih terbuka untuk memahami pentingnya kesehatan mental dan menghindari lingkungan kerja yang terlalu menuntut. Maka dari itu, mereka sangat mementingkan fleksibilitas dan jam kerja yang optimal. Gen Z tidak lagi tertarik dengan budaya “kerja keras tanpa henti” yang dulu sering dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan.

Bagaimanapun juga Gen Z memiliki banyak kelebihan dan lebih maju mengenai teknologi. Gen Z dikenal sebagai generasi yang mudah beradaptasi, paham teknologi, kreatif serta unggul dalam lingkungan kerja yang berubah dengan cepat. Hal itu dikarenakan mereka tumbuh di era digital. Mereka sangat mahir dalam memanfaatkan teknologi dan berkolaborasi secara virtual, sehingga cocok untuk dunia kerja modern.

Gen Z juga sangat peduli terhadap makna dan tujuan pekerjaan. Mereka justru bisa sangat setia dan berdedikasi pada pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk berkembang atau berdampak bagi orang lain. Keinginan mereka untuk terus bertumbuh, menerima feedback yang membangun, dan kemampuan multi-tasking menjadikan Gen Z tenaga kerja dinamis yang siap mendorong inovasi.

Oleh sebab itu, para pemimpin perlu mulai terbuka dan memperbaiki manajemen yang lebih ramah Gen Z. Hal tersebut ditujukan agar mereka merasakan rasa aman dalam bekerja (job security). Semakin tinggi job security yang dirasakan oleh Gen Z maka akan semakin kuat juga kepuasan dan komitmen mereka dalam bekerja.  Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan job security pada Gen Z, mulai dari peluang untuk pertumbuhan karir, leader yang suportif dan peduli terhadap pengembangan diri, serta kebijakan manajemen yang berorientasi pada kesejahteraan karyawan.

Setidaknya, sejumlah hal tersebut bisa menjadi catatan manajeman dalam mengelola sumber daya manusia, sekaligus menyambut bonus demografi yang nantinya jumlah usia produktif akan didominasi oleh Millennials dan Gen Z. So, let’s face the reality, Gen Z is not a social group to be afraid of!

Author

  • Gabrielle Aipassa

    Gen Z yang kebetulan Sarjana Psikologi, makanya cocok jadi si paling mental health. Memilih menulis untuk menuangkan keresahannya terkait fenomena-fenomena sosial.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait