Pernahkah Anda membayangkan hidup dalam dunia di mana warna-warni pelangi tak lagi memukau, atau ketika memilih pakaian menjadi tugas yang membingungkan? Bagi jutaan penderita buta warna di seluruh dunia, ini adalah realitas sehari-hari. Lebih dari sekadar ketidakmampuan membedakan warna, kondisi ini membawa beban psikologis yang sering kali luput dari perhatian masyarakat. Dari kesulitan mengenali rambu lalu lintas hingga hambatan dalam memilih karir, penderita buta warna menghadapi tantangan unik yang dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan mental dan kualitas hidup mereka.
Sebuah penelitian tinjauan literatur terbaru mengungkapkan bahwa buta warna, baik parsial maupun total, memengaruhi sekitar 1,3 miliar orang di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada populasi pria di negara-negara Eropa, dengan satu dari 12 pria dan satu dari 200 wanita mengalami defisit penglihatan warna. Penyebabnya beragam, mulai dari faktor genetik hingga kondisi medis seperti glaukoma, degenerasi makula, dan penyakit Parkinson. Yang mengejutkan, banyak dari kasus ini tidak memiliki pengobatan efektif, terutama untuk jenis bawaan.
Buta warna bukan hanya masalah medis, tetapi juga sosial. Penelitian menunjukkan bahwa diagnosis terlambat pada kasus bawaan dapat menghambat karir dan mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan. Bayangkan kesulitan yang dihadapi seorang anak dalam pelajaran seni atau seorang dewasa yang berusaha menyesuaikan diri dalam pekerjaan yang membutuhkan persepsi warna akurat. Lebih jauh lagi, keterbatasan dalam mengenali rambu lalu lintas dapat membatasi kemandirian dan mobilitas mereka, menambah beban psikologis yang sudah ada.
Dalam konteks ini, peran lingkungan sosial menjadi sangat krusial dalam memfasilitasi kebutuhan para penderita buta warna. Keluarga, teman, pendidik, dan pemberi kerja perlu memahami tantangan unik yang dihadapi oleh penderita buta warna dan beradaptasi untuk mendukung mereka. Misalnya, sekolah dapat menyediakan alat bantu khusus atau mengadaptasi metode pengajaran untuk membantu siswa dengan buta warna. Tempat kerja dapat menerapkan sistem label warna yang ramah buta warna atau menyediakan perangkat lunak khusus untuk membantu karyawan yang mengalami kondisi ini. Dukungan sosial yang tepat tidak hanya dapat meringankan beban psikologis, tetapi juga memberdayakan penderita buta warna untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Hasil utama dari tinjauan ini menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam menangani masalah buta warna. Para peneliti menyarankan modifikasi sederhana namun inovatif pada lampu lalu lintas, dengan menambahkan warna kuning di pinggir lampu merah dan biru di pinggir lampu hijau. Ide ini bertujuan untuk membantu penderita buta warna merah-hijau, yang merupakan jenis paling umum, agar dapat mengenali sinyal dengan lebih mudah. Implikasi dari solusi semacam ini bisa sangat luas, tidak hanya meningkatkan keselamatan lalu lintas tetapi juga memberikan rasa percaya diri dan kemandirian yang lebih besar bagi penderita buta warna.
Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya diagnosis dini dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang buta warna. Para peneliti menemukan bahwa banyak kasus buta warna, terutama yang bersifat bawaan, sering kali tidak terdiagnosis hingga usia dewasa, yang berdampak negatif pada perkembangan pendidikan dan karir individu. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa metode pengujian buta warna yang paling umum digunakan, yaitu tes Ishihara, mungkin tidak cukup komprehensif untuk mendeteksi semua jenis defisiensi warna. Para ahli merekomendasikan penggunaan setidaknya dua jenis tes yang berbeda untuk memastikan evaluasi yang akurat. Temuan ini menekankan perlunya peningkatan protokol skrining buta warna di sekolah-sekolah dan fasilitas kesehatan, serta edukasi yang lebih baik bagi profesional kesehatan dan pendidik tentang berbagai manifestasi dan dampak buta warna pada kehidupan sehari-hari.
Sebagai masyarakat, kita memiliki peran penting dalam mendukung kesejahteraan psikologis penderita buta warna. Meningkatkan kesadaran tentang kondisi ini adalah langkah pertama yang krusial. Kita perlu memahami bahwa buta warna bukan hanya tentang tidak bisa membedakan warna, tetapi juga tentang perjuangan sehari-hari yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, mulai dari desain yang ramah buta warna hingga kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan khusus mereka. Mari kita bersama-sama membangun dunia di mana setiap orang, terlepas dari kemampuan melihat warna, dapat merasakan spektrum penuh kehidupan dengan segala keindahannya.
Artikel ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah “A review on today’s burden affecting the quality of life for colour blind patients” oleh Suciu, Suciu, Perju-Dumbrava, & Nicoara (2024) yang diterbitkan di jurnal Romanian Journal of Neurology.