Pengetahuan matematis dan penalaran matematis adalah kunci yang digunakan ketika kita ingin memikirkan bagaimana dunia kita tersusun. Individu yang percaya diri dalam penggunaan matematika bisa menjawab pertanyaan mengenai kuantitas, hubungan spasial dan strktural, serta pengukuran dan waktu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pemikiran matematis merupakan dasar baik dalam ilmu pengetahuan sains ataupun humaniora. Sebegitu pentingnya pemahaman matematika dalam kehidupan ini, tetapi mengapa sebagian dari kita merasa matematika itu begitu menakutkan?
Matematika bergantung pada penggunaan konsep abstrak dan penalaran logis yang cukup ketat. Bahasa matematika juga tepat, pas, teliti, dan tidak memiliki redudansi. Setiap elemen di dalamnya juga saling berkaitan dan bahkan banyak dari elemen tersebut yang hanya bisa dimengerti dengan mengikuti rangkaian asumsi sebelumnya. Jadi, matematika tidak hanya penting, melainkan juga sulit. Itulah yang akhirnya menjadi alasan mengapa banyak orang menganggap matematika menakutkan dan banyak yang merasa cemas dengan tugas-tugas matematika yang harus mereka kerjakan.
Math anxiety (kecemasan matematika) melibatkan perasaan panik, ketidakberdayaan, kaku, dan bahkan disorganisasi mental yang muncul pada beberapa orang ketika mereka diminta untuk menyelesaikan soal matematika. Keadaan ini cenderung mengarah pada sikap negatif pada setiap pekerjaan atau tugas yang membutuhkan pengolahan angka. Pada penelitian fungsi MRI pada anak usia 7-9 tahun, ditemukan bahwa math anxiety berkaitan dengan adanya hiperaktivitas pada amigdala bagian kanan yang penting untuk memproses emosi negatif.
Selain itu, ditemukan juga bahwa math anxiety berkaitan dengan berkurangnya aktivitas pada bagian prefrontal cortical yang digunakan untuk penalaran matematis. Riset juga menemukan bahwa pelajar yang memiliki tingkat math anxiety yang tinggi menunjukkan peningkatan aktivitas pada bagian cortical ketika mereka dihadapkan dengan tugas matematika daripada ketika mereka dihadapkan pada tugas yang berhubungan dengan bahasa. Perubahan ini terjadi bahkan sebelum mereka memulai pengerjaan tugas itu.
Hipotesis mengenai penyebab dan perkembangan akan math anxiety berfokus pada adanya kerentanan neuropsikologis, faktor kognitif (seperti ketidaksesuaian cara belajar), faktor kepribadian (self-esteem), dan faktor lingkungan (misalnya, pengalaman negatif di sekolah). Penelitian kaitan antara interaksi guru-murid dengan kecemasan matematika menunjukkan beberapa bahwa perasaan guru terhadap matematika itu sendiri mungkin memiliki efek tertentu yang cukup kuat pada murid yang memiliki jenis kelamin sama dengan dia. Ditemukan juga bahwa guru yang memiliki pemikiran negatif terhadap matematika dapat menjadi dasar untuk respons ketidakberdayaan yang dilihat dan dipelajari dari murid mereka.
Lalu bagaimana cara terbaik mengatasi kecemasan matematika? Apabila math anxiety dipahami sebagai fobia, maka penanganannya pun intervensi yang berbasis psikologis pada tiap individu yang merasa cemas. Di sisi lain, apabila math anxiety dianggap sebagai kecemasan yang berkembang karena cara ajar atau karena bahasa yang digunakan atau apabila kecemasannya dikaitkan dengan beberapa elemen dari subyek itu sendiri, penanganannya pun juga diarahkan pada masalah tersebut, bukan pada si pembelajar secara patologis. Salah satunya dengan menyesuaikan bagaimana matematika diajarkan atau dipresentasikan pada mereka.
Kecemasan matematika merupakan topik yang cukup menarik sekaligus rumit untuk diuraikan. Oleh karena itu, tidak cukup rasanya kalau hanya membahas dalam satu bagian ini. Pembahasan lebih lanjut akan kita diskusikan pada bagian berikutnya, yang akan lebih berfokus mengenai bagaimana kecemasan matematika berkembang pada usia muda dan proses kognitif yang mendasarinya. Sampai jumpa di bagian kedua dari artikel ini.