Orientasi Relijius: Salah Satu Isu Psikologi

Dalam keseharian, kita melihat orang yang mengenakan atribut agama akan kita sebut sebagai orang yang relijius. Orang yang terlihat melakukan ibadah di tempat ibadah umum juga akan disebut sebagai relijius. Hal ini juga terlihat pada para terdakwa yang duduk di kursi pengadilan yang mengenakan baju lengkap dengan ornamen keagamaan. Mengapa menjadi “relijius” seakan menjadi hal penting?

Pada tataran kelompok, banyak kegiatan sosial kemanusiaan memiliki fondasi ajaran agama. Hal ini membawa kepada nuansa kelompok tadi adalah kelompok relijius. Pada kelompok lain, ada yang sering melakukan tindakan melampaui batas norma bahkan batas kemanusiaan dengan alasan ajaran agama. Kelompok seperti ini juga disebut juga sebagai kelompok yang penampakannya relijius. Pada tingkat tertentu, bahkan perang pun didasari semangat keagamaan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, artikel ini akan menekankan pada orientasi relijius, bukan relijiusitas. Catatan klasik telaahan psikologi terhadap orientasi relijius adalah hasil pengamatan dan kajian dari Allport dan Ross. Kajiannya yang berjudul “Personal religious orientation and prejudice” tahun 1967 memberikan wawasan yang menarik. Sebelumnya mereka telah mendapati bahwa orang-orang yang hadir di gereja lebih tidak toleran daripada orang-orang yang tidak rajin hadir di gereja.

Definisi dari orientasi religius menurut kajian tersebut adalah kecenderungan individu untuk termotivasi secara intrinsik atau eksternal untuk mengikuti ajaran agamanya. Selanjutnya, orientasi relijius ini terbagi menjadi dua yaitu orientasi relijius ekstrinsik dan orientasi relijius intrinsik. Seseorang dengan orientasi religius intrinsik yang tinggi akan menjalankan agamanya karena agama itu sendiri menjadi dasar kehidupannya. Individu ini menjalankan agamanya sebagai bagian dari hidupnya.

Sebaliknya, individu dengan orientasi religius ekstrinsik cenderung terdorong untuk beragama karena kegunaan agamanya atau bagaimana agama itu instrumental dari pemenuhan kebutuhannya yang lain, seperti kebutuhan akan rasa aman, ketenteraman, ikatan sosial, atau pencapaian suatu status. Individu berorientasi ekstrinsik menggunakan ajaran agama yang disesuaikan dengan keperluan dirinya.

Bagaimana peluang penelitian di Indonesia mengenai kedua orientasi relijius ini? Secara umum konsep orientasi relijius ini telah mulai diteliti termasuk diteliti oleh ilmuwan Indonesia. Penelitian-penelitian ini umumnya adalah penelitian korelasional dengan konsep-konsep psikologis lainnya. Di Indonesia, penelitian mengenai gambaran orientasi relijius telah dimuat dalam artikel ilmiah berjudul “Gambaran Orientasi Relijius pada Masyarakat di Jakarta”.

Dalam riset yang berbeda, para peneliti mengaitkan orientasi relijius dan tingkah laku menolong. Riset tersebut meneliti hubungan orientasi relijius dan prasangka ras yang terlihat. Studi lebih lanjut yang dilakukan di Inggris Raya mengkaji hubungan orintasi relijius dan coping, dan kebahagiaan. Studi mengenai orientasi relijius di Indonesia juga terus berkembang. Beberapa di antaranya, mengkaji mengenai hubungan orientasi relijius dan kecurangan akademis dan dukungan sosial.

Penyebutan seseorang relijius perlu melihat indikator-indikator tingkah laku. Artikel ini hendak menjelaskan adanya konsep orientasi relijius yang telah dikaji lebih dari 50 tahun. Tidak mudah menyematkan sikap relijius pada seseorang hanya dengan tanda seseorang mengenakan atribut-atribut keagamaan. Konsep orientasi relijius dapat menjelaskan mengapa tingkah laku seseorang yang terlihat relijius tetapi tidak sejalan dengan tingkah laku lainnya. Hal ini sudah dikaji oleh Allport dan Ross sejak lama, karena mereka sering menemukan ketidakselarasan gejala relijius dan kehidupan sehari-hari.

Authors

Bagikan artikel ini

Artikel terkait