Pembahasan mengenai multikulturalisme di Indonesia mengundang keasyikan tersendiri, terutama jika kita menggunakan berbagai sudut pandang yang berbeda. Tulisan Johanes Yotam dan Eko Meinarno di edisi psyence.id sebelumnya mengenai multikulturalisme dapat dikategorikan sebagai buah pikir optimistis atas multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme dijelaskan dapat dibangun dan dibentuk, memiliki banyak keuntungan psikologis, dan lain-lain. Bahkan pada tataran pembentukan rasa kebangsaan, tampaknya multikulturalisme adalah jawaban yang paling tepat saat ini. Namun, apakah membangun cara pikir multikulturalisme itu tidak mempunyai hambatan?

Multikulturalisme sendiri menekankan pada kemampuan diri menilai perbedaan antarkelompok budaya, menyadari keragaman sosial budaya dan upaya kontribusi terhadap masyarakat. Dengan multikulturalisme, individu menilai seberapa kontribusi diri (dan kelompoknya) terhadap masyarakat. Jika Anda dari suku bangsa tertentu (salah satu wujud identitas sosial), dan tahu bahwa kelompok Anda berkontribusi terhadap masyarakat, sangat mungkin Anda akan menilai diri positif (karena bagian dari kelompok). Sementara terhadap kelompok lain, Anda akan mulai menilai positif atau negatif berdasar pengetahuan dan pengalaman Anda terhadap kelompok lain. Kondisi ini yang mungkin menimbulkan masalah baru, apa yang mungkin terjadi pada diri kita setelah melakukan penilaian tadi. Hal ini juga akan menjadi calon masalah bagi Indonesia.

Identitas sosial tidak berdiri jauh-jauh dari multikulturalisme. Maka, tema identitas sosial perlu mendapat perhatian. Sejak kelahiran konsep identitas sosial, Henri Tajfel dan John Turner sudah mengemukakan bahwa individu cenderung memberikan preferensi pada anggota kelompoknya sendiri karena adanya kebutuhan untuk mempertahankan identitas sosial mereka.

Kondisi mempertahankan identitas sosial ini yang uniknya dapat menjadi kendala pada multikulturalisme. Terdapat beberapa aspek dari identitas sosial, salah satunya yaitu ingroup favoritism effect (efek favoritisme ingroup). Efek ini menjelaskan bahwa individu pada umumnya mengevaluasi anggota ingroup secara lebih positif, memberi atribut yang lebih positif atas perilaku mereka, lebih menghargai mereka, memperlakukan mereka secara lebih baik, dan menganggap mereka lebih menarik daripada anggota outgroup. Tidaklah mengherankan jika kemudian anggota ingroup cenderung memandang anggota ingroup memiliki banyak kesamaan dengan diri mereka. Ini yang kemudian disebut sebagai assumed similarity effect (efek kemiripan yang diasumsikan).

Aspek selanjutnya yang muncul adalah outgroup homogeneity effect. Sebuah gejala individu cenderung memandang anggota kelompok lain sebagai seragam atau homogen dalam berbagai aspek, sementara anggota kelompok sendiri dianggap beragam. Misalnya, terdapat sebuah kelompok bernama X. Kita anggap semua anggota kelompok X akan menyadari perbedaan masing-masing anggotanya. Sebaliknya, para anggota kelompok X akan menganggap atau berasumsi bahwa  orang-orang di kelompok lain, Y, memiliki ciri yang mirip.

Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Muslim di Amerika Serikat memiliki kecenderungan untuk menggeneralisasi karakteristik negatif pada kelompok lain, dan lebih sedikit memandang perbedaan individual dalam kelompok tersebut (sesama Muslim). Penelitian serupa juga menemukan bahwa outgroup homogeneity effect dapat memperkuat prasangka terhadap kelompok lain dan mengurangi kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok tersebut.

Paparan mengenai aspek-aspek identitas sosial ini sedikit banyak membuat kita khawatir. Bersemangat multikulturalisme berarti mengakui identitas-identitas sosial yang melekat. Mengakui identitas sosial, membuka pintu untuk membedakan diri dengan yang lain. Bisa jadi, lepas dari mulut harimau masuk mulut komodo!

Jika tidak ingin masuk mulut komodo, apa yang dapat kita perbuat? Kecurigaan kita atas terbentuknya outgroup homogeneity effect antara lain karena keterbatasan informasi, stereotip, dan identitas kelompok. Kita sering merasa atau bahkan tanpa sadar mengajarkan di sekolah bahwa kebhinnekaan itu seakan terberi, tanpa perlu distimuli. Hal yang terjadi adalah mereka (siswa atau bahkan kita) mengandalkan informasi yang tersedia dan menggeneralisasikan karakteristik kelompok tersebut pada seluruh anggota kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki akses terbatas pada informasi mengenai kelompok lain cenderung lebih mengalami outgroup homogeneity effect daripada individu yang memiliki akses lebih banyak pada informasi tersebut.

Temuan riset di Amerika Serikat tersebut didukung oleh kajian-kajian lokal di Indonesia yang dilakukan. Pada intinya, kajian-kajian tersebut menerangkan bahwa kunci dari multikulturalisme adalah pengenalan dengan kelompok lain seluas mungkin dan perlu keterlibatan di dalamnya. Mendatangi acara-acara kelompok yang berbeda, menstimuli paham kesamaan pada usia dini, dan bertemu dengan sosok-sosok individu dari kelompok yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, perkenalan anak dengan teman-teman yang berbeda menjadi modal penambahan wawasan/informasi yang mengandung perbedaan sekaligus kesamaan.

Perlu memulai upaya apa yang sama antara saya dan orang lain. Apa yang sama antara kelompok saya dengan kelompok lain? Multikulturalisme sendiri akan semakin baik jika yang dipedulikan adalah hal-hal yang sama dan umum, bukan perbedaan-perbedaan yang jangan-jangan hanya perbedaan kecil/remeh. Sebagai penutup, kami mengutip salah satu tokoh dalam agama Islam, yakni Ali bin Abi Thalib yang menyatakan tentang kepeduliannya pada individu dalam konteks kelompok yang lebih besar, bukan pada kelompok yang lebih kecil. Jangan lihat bedanya, jikalau tetap ada cari kesamaan yang hakikat!

“Jika dia bukan saudaramu dalam agama (tidak seiman), maka dia adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Authors

Bagikan artikel ini

Artikel terkait