Kepadatan dan kerumunan merupakan wajah yang melekat pada kehidupan kota. Kondisi yang ramai dan hiruk pikuk mengisi setiap sudut kota besar seperti Jakarta merupakan tantangan psikologis tersendiri bagi para penduduknya. Akibat kepadatan urban yang tak terhindarkan ini,  Sejumlah peneliti melaporkan bahwa jika dibandingkan masyarakat di pedesaan, masyarakat perkotaan lebih rentan mengalami environmental stress—keadaan stres yang muncul ketika individu berhadapan dengan tuntutan berasal dari lingkungan yang meminta individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada. Bagaimana bisa begitu?

Sebuah riset menunjukkan bahwa kepadatan dan kerumunan adalah dua konsep yang berbeda yang saling berkaitan. Kepadatan didefinisikan secara obyektif sebagai pengaturan fisik individu dalam suatu ruang tertentu, yang diukur dengan rasio jumlah orang dengan area yang tersedia. Pengukuran ini memberikan pemahaman obyektif tentang distribusi spasial dalam lingkungan tertentu. Misalnya, ruang dengan luas 20 m2 yang diisi oleh 10 orang dinilai lebih padat dibandingkan jika ruang yang sama diisi oleh 5 orang. Kepadatan sendiri memiliki dimensi subyektif yang dipersepsi berbeda oleh tiap orang. Penilaian subyektivitas terhadap kepadatan ini yang kemudian kita kenal dengan kerumunan.

Kerumunan, sebagai fenomena subyektif, erat kaitannya dengan bagaimana individu mempersepsikan dan merespons lingkungan sekitar, terutama di lingkungan yang obyektifnya ditandai oleh kepadatan tinggi. Karena sifatnya yang subyektif, setiap orang memiliki ambang ketidaknyamanan yang berbeda saat berada dalam ruang yang ramai, yang sangat dipengaruhi oleh motivasi dan konteks perilaku individu dalam suatu ruang tertentu. Sebagai contoh, sebuah konser berdurasi 2 jam di ruang berukuran 1000 m2 dengan kehadiran 10.000 penonton (rasio 1:10) mungkin dianggap lebih nyaman daripada sebuah gerbong kereta berukuran 50 m2 yang diisi oleh 500 penumpang (rasio 1:10) selama perjalanan 1 jam, meskipun keduanya memiliki rasio yang sama.

Ketidaknyamanan yang lebih bisa diantisipasi dalam sebuah konser dapat dipengaruhi oleh motivasi dan sikap positif pengunjung terhadap acara tersebut, yang membantu mereka mengatasi ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan. Sebaliknya, dalam kondisi gerbong yang penuh, tidak ada penumpang yang sengaja memilih untuk menggunakan kereta yang begitu padat, semuanya terpaksa berdesakan. Pada kondisi dimana ketidaknyamanan individu dalam sebuah kerumunan sudah melebihi ambang batasnya, itulah saat environmental stress muncul sebagai hasil dari kerumunan tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh kerumunan yang dirasakan oleh individu juga sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi dan kontrol atas situasi, dimana individu yang memiliki lebih banyak pilihan cenderung dapat lebih mengantisipasi dan mengelola ketidaknyamanannya saat berada dalam suatu ruang.

 

Dampak kepadatan terhadap kesehatan

Paparan pada lingkungan dengan kepadatan tinggi, yang sering dikaitkan dengan kerumunan, memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan fisik seseorang. Dampak fisiologis dari ruang yang penuh sesak dapat dilihat dari peningkatan denyut nadi dan tekanan darah. Dalam sebuah studi dilaporkan bahwa tekanan darah narapidana meningkat ketika mereka diharuskan berbagi sel dengan narapidana lain. Namun, tekanan darah kembali normal ketika mereka kembali ditempatkan sendiri. Meskipun mungkin ada faktor lain yang memengaruhi peningkatan tekanan darah, temuan ini menunjukkan bahwa situasi dikurung dengan orang lain dapat memengaruhi peningkatan aktivitas fisiologis. Studi lain juga memberikan hasil serupa. Dalam penelitian ini, tekanan darah sepuluh siswa (lima laki-laki dan lima perempuan) diukur pada awal dan akhir periode tiga setengah jam di ruangan yang lebih besar atau lebih kecil. Hasilnya menunjukkan bahwa denyut nadi dan tekanan darah lebih tinggi bagi mereka yang berada dalam kondisi kepadatan tinggi.

 

Dampak kepadatan terhadap perilaku sosial

Kepadatan yang tinggi dalam beberapa situasi dapat menciptakan ketidaknyamanan. Dalam kondisi tersebut, dapat diharapkan bahwa perilaku altruistik atau prososial akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan kepadatan. Hal ini mungkin disebabkan oleh fokus pada ketidaknyamanan pribadi, yang mengakibatkan hilangnya sensitivitas terhadap isyarat lingkungan atau karena terjadi difusi tanggung jawab di antara individu yang hadir. Difusi tanggung jawab terjadi ketika tanggung jawab atas suatu peristiwa dibagi atau disebarluaskan di antara orang-orang yang hadir.

Fenomena ini mungkin timbul karena kehadiran lebih banyak orang membuat atribusi tanggung jawab menjadi lebih samar, atau mungkin karena kita merasa lebih mudah untuk ikut serta atau tidak terlibat dalam suatu situasi jika kita tahu bahwa kita tidak akan sepenuhnya bertanggung jawab. Gagasan tentang difusi tanggung jawab ini pada awalnya dikemukakan oleh Darley dan Latané, dua psikolog sosial dari Amerika Serikat, lewat riset klasik mereka mengenai peran lingkungan sosial terhadap perilaku individu. Dalam riset tersebut, mereka menemukan bahwa perilaku membantu yang ditunjukkan oleh anggota kelompok diskusi cenderung menurun seiring dengan peningkatan jumlah anggota kelompok tersebut.

Pemahaman tentang dampak kepadatan terhadap kesehatan fisik dan perilaku sosial merupakan langkah awal untuk menciptakan solusi yang lebih baik dalam pengelolaan kehidupan kota. Penting bagi masyarakat perkotaan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang mereka miliki, meresapi dampak psikologisnya, dan merancang strategi adaptasi yang lebih efektif. Demi kesejahteraan bersama, kesadaran masyarakat terhadap bagaimana mereka berinteraksi di ruang bersama dapat menjadi kunci untuk mengurangi environmental stress dan meningkatkan kualitas hidup di tengah keramaian kota.

Author

  • Fitri Arlinkasari

    Inka is a lecturer at the Faculty of Psychology, YARSI University. Her current research topics are related to children's environment and young people's rights.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait