Astrologi: Apanya yang “Logi”? (part 1)

Astrologi, ramalan bintang, zodiak, atau apapun itu namanya seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Hampir di setiap tabloid dan majalah wanita (dan beberapa tabloid dan majalah pria) menyediakan kolom reguler yang membahas ramalan bintang. Banyak yang sangat percaya, banyak pula yang membacanya sebagai hiburan semata (hanya percaya kalau ramalannya bagus), dan banyak juga yang tidak percaya sama sekali. Bagaimana dengan Anda sendiri? Bagi saya pribadi, saya kurang dapat menikmatinya. Saya selalu bertanya-tanya: Bagaimana susunan bintang ketika lahir dianggap dapat menjelaskan garis hidup saya? Logika apa yang mendasari bahwa seorang dengan zodiak Aquarius lebih cocok dengan seorang Cancer daripada seorang Gemini? Apanya yg “logi” dari “astrologi”? Dan yang tak kalah penting, mengapa banyak orang yang bahkan cukup berpendidikan mempercayai ramalan-ramalan tersebut?

Keraguan saya tersebut ternyata bukan barang baru dalam dunia ilmu Psikologi. Di akhir tahun 1940-an, seorang profesor Psikologi bernama Bertram Forer mencoba menjelaskan mengapa banyak orang bisa percaya terhadap omongan astrolog (jika memang ada istilah profesi tersebut) dan grafologis. Dalam eksperimennya, ia meminta mahasiswanya untuk mengisi sebuah tes kepribadian. Seminggu kemudian, ia membagikan deskripsi kepribadian dari hasil interpretasi tes tersebut kepada setiap mahasiswa dan meminta mereka untuk memberi penilaian seberapa akurat deskripsi tersebut. Tanpa diketahui para mahasiswa tersebut, Forer sebenarnya tidak melakukan interpretasi apapun dari tes kepribadian yang dilakukan. Deskripsi yang diterima para mahasiswa diambil dan dirangkum Forer dari sejumlah buku horoskop yang beredar secara umum. Selain itu, tanpa mereka ketahui juga, setiap mahasiswa sebenarnya menerima deskripsi kepribadian yang sama persis. Secara mengejutkan, sebanyak 87% dari mahasiswanya mengatakan bahwa deskripsi tersebut sangat akurat!

Fenomen tersebut disebut juga sebagai Barnum Effect, yang diambil dari nama P. T. Barnum, seorang showbiz man yang pernah mengatakan bahwa “any good circus should have something for everyone”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa untuk membuat sesuatu yang menarik, kita harus bisa membuatnya menarik bagi semua orang. Dalam kaitannya dengan eksperimennya, Forer menyimpulkan bahwa untuk terlihat akurat, deskripsi astrologi tidak harus akurat. Alih-alih, seorang astrolog dapat memberikan gambaran kepribadian yang umum dan samar kepada orang-orang, yang sebenarnya gambaran tersebut dapat berlaku juga bagi setiap orang lainnya. Dalam beberapa literatur psikologi, hal ini juga sering disebut dengan pernyataan “one size fits all”, yaitu di mana sebuah pernyataan berlaku bagi (hampir) semua orang.

Sejumlah ilmuwan psikologi mencoba mereplikasi apa yang dilakukan oleh Forer. Dari penelitian-penelitian tersebut, ditemukan bahwa hampir semua orang sangat rentan terhadap Barnum Effect – orang tua dan kaum muda, laki-laki dan perempuan, orang-orang yang percaya maupun yang skeptis terhadap astrologi, dan bahkan para Manajer SDM sekalipun.

Dalam penelitian lain, Margaret Hamilton, seorang psikolog dari University of Wisconsin, menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam tingkat kepercayaan terhadap keakuratan horoskop. Secara tradisional, keduabelas zodiak dibagi menjadi enam zodiak “positif” (Aries, Gemini, Leo, Libra, Sagitarius, dan Aquarius) dan enam zodiak “negatif” (Taurus, Cancer, Virgo, Scorpio, Capricorn, dan Pisces). Sifat-sifat yang diasosiasikan dengan zodiak-zodiak “positif” cenderung lebih menyenangkan daripada sifat-sifat yang diasosiasikan dengan zodiak-zodiak “negatif”.

Dalam penelitian tersebut, partisipan diberikan sebuah deskripsi kepribadian menurut zodiak. Setelah itu, mereka diminta untuk memberi penilaian mengenai deskripsi tersebut dan sejauh mana mereka percaya terhadap astrologi. Dari penelitian tersebut terungkap bahwa partisipan yang berzodiak positif, dibandingkan dengan mereka yang berzodiak negatif, cenderung lebih percaya terhadap penjelasan astrologi yang dipaparkan dalam penelitian tersebut. Dalam hal ini, terjadi flattery effect di mana orang-orang akan cenderung percaya dan mendukung gagasan-gagasan yang membuat mereka terlihat positif. Temuan ini mendukung gagasan Forer sebelumnya, bahwa dalam astrologi yang terpenting bukanlah akurasi, melainkan bagaimana membuat orang mengiyakan gambaran diri yang diberikan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Psikologi memiliki jalan yang cukup panjang dalam upaya memahami astrologi dan seluk-beluknya. Di bagian berikutnya, saya akan mengulas sedikit tentang bagaimana pecinta dan ahli astrologi pernah mendapat secercah harapan tentang legitimasi “logi” mereka. Kemudian, di bagian terakhir saya akan memaparkan secara ringkas bagaimana riset-riset psikologi mengupas tentang orang yang seperti apa yang rentan mempercayai astrologi, serta bagaimana Psikologi menguji klaim besar dari astrologi mengenai salah satu hal terpenting di kehidupan ini: perjodohan.

Author

  • Sunu Bagaskara

    Sunu Bagaskara adalah staf pengajar dan peneliti di Fakultas Psikologi Universitas YARSI dengan kajian di bidang Psikologi Sosial, Psikologi Lalu-lintas, dab Sosial Kognitif

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait