Pernahkah kalian mendapat pertanyaan: Kapan nikah? Kapan punya momongan? Kapan lulus? Dan, segala kapan-kapan yang lain. Pertanyaan-pertanyaaan tersebut sering menyasar kaum muda, terutama saat momen kumpul keluarga. Namun, anak muda atau Generasi Z merasa perlu untuk menyiapkan mental dalam menyambut agenda tersebut. Sebab, tidak hanya bertanya tetapi mereka juga kerap mengahakimi lewat segala sindiran yang diawali dari pertanyaan di atas. Lalu, apa yang bisa diupayakan untuk menghadapi pertanyaan basa-basi yang kerap merusak suasana tersebut?
Sejatinya, pertanyaan dari orang tua merupakan upaya mereka membuka komunikasi. Suasana berkumpul sudah sepatutnya diisi dengan obrolan. Jadi, sejak awal mungkin tidak ada intensi ingin menyakiti hati. Sesederhana mereka ingin berbincang. Bagi para orang tua, bentuk basa-basi seperti itu menjadi dasar mereka membuka gerbang dialog.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri kalau ada batasan privasi yang kerap dilewati. Kenyataan bahwa mereka sudah lebih lama menjalani hidup menjadi rasionalisasi para orang tua untuk memberi saran yang sebenarnya menjurus pada sindiran. Misalnya, “Kamu kerja mau cari apa lagi? Kalau mengejar harta nggak akan ada habisnya. Sudah saatnya cari pasangan, nanti jadi perawan tua makin susah nikahnya.” Orang tua tak lagi mengingatkan, tapi sudah menekan tombol sensitif Gen Z.
Seringkali, Gen Z berakhir merasa tersudutkan. Dalam momen kumpul keluarga, mereka akan mencari saudaranya untuk berkeluh kesah. Di satu sisi menjadi baik bahwa ada orang lain yang dapat memahaminya, tetapi perasaan negatif itu sifatnya menular. Hawa yang kurang mengenakan bisa saja berdampak pada orang lain. Sehingga, segala perasaan negatif yang muncul terus konsisten dan merusak keseluruhan hari.
Dalam konteks kumpul keluarga, hancurnya suasana hati bukan pertanda baik. Hari yang sejatinya dilewati dengan sukacita malah memicu perselisihan. Kemudian, apa yang bisa diupayakan agar tidak tersinggung?
Ada hal-hal yang bisa dikontrol dan tidak bisa dikontrol. Dalam salah satu aliran filsafat, yaitu stoikisme mengenal sebuah prinsip yang disebut dikotomi kendali. Segala sesuatu yang ada di luar diri sendiri, seperti perkataan orang lain bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan. Kita tidak bisa mengatur orang lain ketika mereka akan berucap. Maka yang penting adalah respon terhadap kondisi tersebut. Artinya, yang bisa dikontrol adalah respon dari dalam diri.
Ketika sudah muncul pertanyaan yang menjurus maka perlu tanggapan yang tepat. Trik yang lumrah dilakukan adalah mengalihkan topik. Misalnya, saat ada pertanyaan mengenai pernikahan bisa dijawab, “Aku lagi deket sama seseorang, doakan saja ya, Tan. Rencana-Nya sudah pasti rencana yang baik. Eh, tapi Tante katanya abis bikin kue enak, ya? Gimana bikinnya, Tan?”
Mengacu pada trik di atas, reaksi yang diberikan adalah penjelasan perspektif hidup kita. Lalu, fokus diubah agar si orang tua membahas hal lain. Mereka lebih tertarik pada obrolan yang sifatnya mengajarkan. Secara tugas perkembangan orang tua akan lebih senang pada hal-hal yang berdampak bagi sekitar, sederhananya lewat ngasih tau. Dengan demikian, akan meminimalisasi munculnya pertanyaan lanjutan.
Kalau memang perkataannya sudah sangat menyinggung dan melewati batas, perasaan yang kita alami tetap jadi prioritas. Jika sudah sampai di titik ini, pilihannya menjadi agresif atau asertif.
Kalau cara yang agresif berarti mencoba menghadapi sindirannya dengan cara yang keras. Bukan berarti harus bertengkar, tetapi pemilihan kata yang digunakan lebih lugas. Tentu saja, tidak sesuai dengan konteks pertemuan keluarga yang harusnya penuh kehangatan bukan saling tarik urat.
Opsi yang lain adalah asertif. Jadi, mengungkapkan perasaan yang dialami secara terbuka dengan tetap menghargai pikiran dan keinginan lawan bicara. Ini memang bukan jadi sesuatu yang biasa diajarkan dalam masyarakat kita makanya terdengar asing. Contohnya, “Mohon maaf, Tan. Aku kok rasanya nggak nyaman kalau bahas tentang pernikahan. Aku juga ingin bisa berkeluarga, tapi semua ada prosesnya juga. Boleh nggak kita bahas hal lain aja? Lagi kumpul begini, harusnya bahas hal-hal yang baik dan buat senang.”
Pada akhirnya, tidak ada yang menjamin bahwa sindiran itu akan berhenti. Namun, itu adalah usaha yang paling maksimal bisa dilakukan. Toh, nggak ada manusia yang sempurna kan? Setiap generasi memang punya ciri khasnya masing-masing. Bantulah para orang tua untuk mengenali keturunan mereka yang hidup dalam dunianya saat ini. Rangkulah mereka dengan cara yang tepat agar tak saling menyakiti.