Masih ingatkah Anda dengan kebijakan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang mewajibkan siswa-siswi SMA dan SMK masuk sekolah pada pukul 05.00 pagi? Ya, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian orang tua menganggap kebijakan ini memberatkan mereka. Sejumlah protes pun bermunculan menanggapi keputusan yang kontroversial ini. Sudah tepatkah untuk menetapkan waktu aktivitas belajar murid sedini itu?
Anak-anak SMA/SMK sedang berada pada masa remaja yang secara biologis terjadi transisi pada perkembangannya. Selain itu, hal yang drastis terjadi pada masa pubertas adalah pada pola tidur/bangun. Ketika anak-anak memasuki usia remaja, mereka cenderung mengalami penundaan fase tidur sehingga terjaga pada malam hari. Hal ini tentu akan berpengaruh pada chronotype atau kecenderungan alami tubuh untuk tidur pada waktu tertentu. Circadian rhythm atau proses biologis yang berpatokan pada siklus 24 jam/siklus pagi-malam yang mempengruhi sistem fungsional tubuh manusia juga terdisrupsi. Jam sirkadian tersebut mengatur tidur, pola makan, suhu tubuh, produksi hormon, regenerasi sel, dan aktivitas biologis lainnya. Proses ini dikendalikan oleh suprachiasmatic nucleus (SCN) yang ada di bagian anterior dari hypothalamus.
Selanjutnya, perkembangan remaja dan jam tidur juga dipengaruhi oleh hormon melatonin (yang bisa menyebabkan rasa kantuk) dan kortisol (membentuk glukosa dan mengaktifkan anti-stress dan anti-inflamasi dalam tubuh). Melatonin biasanya mulai diproduksi tubuh sekitar pukul 8-9 malam dan berhenti sekitar pukul 7-8 pagi sehingga wajar saja kalau individu masih merasakan mengantuk pada jam tersebut. Ketika remaja mengalami sleep deprivation atau kekurangan tidur, maka otak akan kewalahan dalam proses me-recovery tubuh dan juga harus bekerja ekstra untuk tetap optimal dalam berpikir.
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada jurnal Frontiers in Human Neuroscience menunjukkan bahwa mekanisme tidur pada remaja tidak memungkinkan otak untuk berada pada titik optimalnya secara alami sebelum sekitar jam 8.30 pagi. Tidak hanya itu, remaja juga cenderung kurang bisa membaca sociocultural signals saat bersosialisasi dengan lingkungannya dan berisiko mengembangkan gangguan emosional. Hal ini mungkin dikeluhkan oleh orang tua. Lebih lanjut, waktu belajar paling efektif adalah saat otak berada dalam acquisition mode yang umumnya terjadi antara pukul 10 pagi hingga 2 siang serta 4 sore hingga 10 malam. Sedangkan waktu belajar yang paling tidak efektif terjadi antara pukul 4 hingga 7 pagi. Hasil ini ditemukan konsisten lintas budaya dan gender.
Dengan segala pertimbangan tersebut, rekomendasi yang bisa ditawarkan mengingat adanya proses neurobiologis unik pada remaja tersebut adalah sekolah menengah pertama dan atas sebaiknya dimulai tidak lebih awal dari jam 8 pagi. Selanjutnya, hal yang menjadi concern penulis adalah etis atau tidaknya percobaan kebijakan itu dilakukan. Meskipun sample sekolah yang dilibatkan hanya sedikit, tetap saja percobaan ini melibatkan manusia (terlebih remaja) yang berpotensi merasakan konsekuensi negatif serta menimbulkan kerugian kognitif yang mana hal ini sering disepelekan oleh orang tua ataupun pemangku kebijakan. Penulis merasa siswa dan orang tua harus dilibatkan ketika suatu kebijakan akan diterapkan dan dipastikan apakah mereka bersedia atau tidak untuk mengikuti uji coba tersebut karena tiap individu berhak untuk menerima/menolak menjadi partisipan.