Bahasan tentang seks dapat dikatakan masih tabu dikalangan masyarakat pada umumnya, padahal efeknya jauh lebih berbahaya jika pembicaraan tentang seks terus dianggap hal yang tabu. Edukasi seks di keluarga maupun di institusi pendidikan masih banyak ditentang atau dianggap tidak pantas diberikan, apalagi pada anak-anak usia dini. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa bahasan tentang seks tidak dapat dihindari selamanya, khususnya pendidikan seksual. Mengapa penting untuk membahas hal ini berdasarkan perspektif psikologi?
Berdasarkan hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow, seks atau berhubungan intim termasuk dalam kebutuhan dasar atau kebutuhan fisiologis. Hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow adalah konsep yang menjelaskan bahwa kebutuhan pada tingkatan bawah perlu dipenuhi sebelum meningkat ke kebutuhan lainnya. Lebih lanjut, Sigmund Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki insting hidup yang berisi dorongan untuk bertahan hidup seperti makan, minum, dan seks. Menurut Freud, dorongan seks adalah yang terdepan dibandingkan dengan makan dan minum. Tidak hanya itu, seks juga berhubungan dengan kepuasan yang diperoleh seseorang.
Lalu apa itu pendidikan seksual? Sebelum beranjak pembahsan tentang pendidikan seksual, marilah kita bahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan seks. Dalam bukunya mengenai teori tentang seks, Freud menyatakan bahwa seks adalah kebutuhan biologis manusia dan binatang yang didorong oleh insting seksual atau libido, yang bertujuan untuk mendapatkan rasa kepuasan atau kesenangan. Seksualitas berkembang dan tidak bersifat statis, sama seperti berpikir dan kapasitas-kapasitas lain yang dimiliki manusia.
Pendidikan seksual adalah bentuk edukasi atau sifatnya memberitahukan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Hal ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan); fungsi kelamin sebagai alat reproduksi; perkembangan alat kelamin pada wanita dan laki-laki; menstruasi dan mimpi basah; timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon; dan juga perkawinan, kehamilan dan sebagainya. Sesuai dengan pembahasan dalam artikel ini, pendidikan seksual bertujuan membentuk sikap emosional sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja hingga dewasa untuk mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya.
Apakah pemahaman pendidikan seksual di Indonesia sudah sesuai? Sayangnya, masih terdapat pemahaman yang kurang sesuai terkait seks dan pendidikan seksual. Beberapa orang beranggapan bahwa pendidikan seksual hanya mengajari hal-hal yang berhubungan dengan bersenggama, padahal bukan seperti ini. Asumsi tersebut juga mengarahkan pada asumsi bahwa pendidikan seksual mendorong seseorang untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya (menikah). Diketahui bahwa hubungan seksual di luar pernikahan sah juga dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan agama dan juga norma yang tertanam dan berlaku di budaya Indonesia.
Lantas, mengapa tabu untuk membahas seks di Indonesia? Mari kita bahas beberapa alasan bisa jadi penyebabnya:
- Kurangnya keterbukaan
Membahas tentang seks dianggap kurang pantas, karena berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Mengapa orang tua menutup mata anaknya atau tidak boleh melihat film dengan adegan ciuman, tanpa diiringi dengan penjelasan tentang makna dari adegan itu sendiri. Anak menjadi bertanya-tanya dan menerka arti adegan tersebut tanpa adanya pengarahan dari orangtua. Padahal, alangkah baiknya jika pendampingan orang tua bisa memberikan pemaknaan yang sepadan dengan perkembangan usai anak. Minimnya keterbukaan dari orangtua membuat anak tumbuh dengan anggapan bahwa hal-hal seksual merupakan sesuatu yang tabu atau memalukan sehingga tidak boleh dibahas atau dipertanyakan.
- Bentuk pendidikan seksusal yang belum tepat
Pendidikan seksual yang diberikan menekankan pada bahaya dan risiko seks pranikah dari sudut pandang moral dan agama, terdapat juga edukasi mengenai penyakit menular seksual (PMS) dan pentingnya persetujuan (consent) kedua pihak yang melakukan hubungan seksual. Padahal, pendidikan seksual selayaknya diberikan sejak usia dini berdasarkan tahapan perkembangan anak hingga beranjak dewasa.
- Informasi dari sumber lain yang kurang tepat
Diketahui bahwa pada masa akhir anak-anak, keingintahuan mengenai seksualitas meningkat. Apabila keingintahuan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan penjelasan yang cukup dari pihak keluarga dan sekolah, dapat membuat anak mencari informasi dari sumber lain yang kurang tepat. Salah satu contoh sumber informasi yang kurang tepat adalah melalui pornografi. Sedangkan, pornografi bukan merupakan media belajar yang sesuai untuk memahami seksualitas karena penggambaran yang tidak tepat dan dilebih-lebihkan. Oleh karena itu, dapat muncul pemahaman atau persepsi yang semakin meyakinkan bahwa seks atau bahasan seks merupakan hal yang tabu.
Tabukan seks menjadi hal yang justru berbalik seperti bumerang. Seyogianya, penjelasan tentang seks yang dimulai dari lingkup keluarga melalui orang tua perlu dilakukan sejak dini. Sikap keterbukaan dan juga edukasi melalui institusi pendidikan dapat dilakukan secara meluas dan memiliki kurikulum yang terstandarisasi. Hali ini bertujuan agar masyarakat menjadi bertanggung jawab dan memahami dampak-dampak dalam menjalankan aktivitas seksual.