Bunuh diri telah menjadi suatu permasalahan perilaku yang seringkali dijumpai pada kehidupan masa sekarang ini. WHO mencatat bahwa ada satu kematian tiap 40 detik karena bunuh diri setiap tahunnya. Bahkan, secara lebih lanjut bunuh diri telah menjadi penyebab kematian urutan kedua dalam rentang usia 15-29 tahun dengan 79% kasus yang terjadi pada negara berpendapatan rendah hingga menengah. Hal tersebut menjadikan kaum muda sebagai kelompok populasi yang sangat riskan untuk bisa dengan mudahnya mengakhiri hidup. Dalam memprediksi kasus bunuh diri, kajian mengenai ide bunuh diri (suicidal ideation) sebagai awalan dari perilaku ekstrem tersebut menjadi penting. Tidak hanya itu, perlu diketahui pula cara yang bisa diupayakan agar meminimalisir munculnya ide bunuh diri.
Ide bunuh diri dapat diartikan sebagai keadaan ketika seseorang memiliki dorongan ataupun hasrat untuk bisa mengakhiri hidupnya. Terdapat tiga aspek yang menyusun ide bunuh diri. Hasrat bunuh diri pasif ketika seseorang ingin mati, tetapi tidak bersungguh-sungguh menginginkannya. Hasrat bunuh diri aktif menggambarkan seseorang yang tidak hanya memiliki pikiran untuk bunuh diri, tetapi juga berusaha untuk memenuhinya. Persiapan untuk bunuh diri yang mengarah pada berbagai cara konkret untuk mengakhiri hidup. Dengan demikian, ide bunuh diri terbentuk dari niat yang terkandung dalam dorongan pasif atau aktif hingga pada persiapan yang lebih nyata.
Adanya ide bunuh diri diduga karena banyak faktor, salah satunya adalah penggunaan coping styles. Avoidant coping yang merupakan cara menghindar dari masalah dan ditetapkan sebagai coping styles negatif. Penggunaan coping styles yang tidak efektif telah ditemukan pada orang yang melakukan bunuh diri dan remaja atau dewasa muda yang memiliki ide bunuh diri. Hasil penelitian secara konsisten melaporkan bahwa perilaku, seperti self-distraction (mengalihkan perhatian dari masalah), substance use (menggunakan alkohol dan obat-obatan sebagai pelarian dari masalah), dan behavioral disengagement (tidak berupaya untuk menyelesaikan masalah) mampu meningkatkan ide atau perilaku bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan penggunaan coping styles yang bisa menjadi faktor proteksi munculnya ide bunuh diri.
Problem-focused coping sebagai bentuk penangan masalah secara adaptif menjadi solusi yang bisa dilakukan. Problem-focused coping sendiri merupakan alternatif untuk mengatasi stres dengan cara proaktif mengatasi masalah dan mengambil tindakan untuk mengatasi akar permasalahannya. Berdasarkan sejumlah penelitian, ada beberapa perilaku yang termasuk problem-focused coping, seperti active coping diketahui mampu mereduksi ide atau perilaku bunuh diri dan efek yang sama juga ditunjukkan oleh positive reframing. Active coping memang bertujuan untuk mengurangi masalah secara dinamis. Sedangkan, positive reframing membantu individu mengevaluasi sumber masalah melalui pendekatan yang lebih positif. Sehingga, penggunaan problem-focused coping, khususnya mengatasi masalah secara aktif dan melihat masalah dari sisi positif dapat menjadi proteksi dari ide bunuh diri pada kaum muda.
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa generasi muda memang mudah untuk bisa memiliki ide bunuh diri. Maka, perlu adanya alternatif solusi agar mampu mengurangi kecenderungan tersebut dan tidak menjadi perilaku ekstrem, yaitu percobaan bunuh diri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membentuk kebiasaan untuk menerapkan problem-focused coping ketika memiliki masalah. Sebab, melarikan diri dari masalah tidak serta-merta akan membuat beban tersebut menjadi hilang.