Bahasan tentang seks dapat dikatakan masih tabu dikalangan masyarakat pada umumnya, padahal efeknya jauh lebih berbahaya jika pembicaraan tentang seks terus dianggap hal yang tabu. Edukasi seks di keluarga maupun di institusi pendidikan masih banyak ditentang atau dianggap tidak pantas diberikan, apalagi pada anak-anak usia dini. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa bahasan tentang seks tidak dapat dihindari selamanya, khususnya pendidikan seksual. Mengapa penting untuk membahas hal ini berdasarkan perspektif psikologi?
Month: September 2022

Bunuh diri telah menjadi suatu permasalahan perilaku yang seringkali dijumpai pada kehidupan masa sekarang ini. WHO mencatat bahwa ada satu kematian tiap 40 detik karena bunuh diri setiap tahunnya. Bahkan, secara lebih lanjut bunuh diri telah menjadi penyebab kematian urutan kedua dalam rentang usia 15-29 tahun dengan 79% kasus yang terjadi pada negara berpendapatan rendah hingga menengah. Hal tersebut menjadikan kaum muda sebagai kelompok populasi yang sangat riskan untuk bisa dengan mudahnya mengakhiri hidup. Dalam memprediksi kasus bunuh diri, kajian mengenai ide bunuh diri (suicidal ideation) sebagai awalan dari perilaku ekstrem tersebut menjadi penting. Tidak hanya itu, perlu diketahui pula cara yang bisa diupayakan agar meminimalisir munculnya ide bunuh diri.

“Saya merasa belum terlalu kenal sama teman-teman, karena biasanya cuma ngobrol online lewat (Microsoft) Teams atau chat, dan belum pernah ketemu langsung.” Ini adalah salah satu komentar yang pernah saya dapatkan saat berbicara secara informal dengan beberapa mahasiswa yang saya ajar. Pandemi selama dua tahun memang memberikan dampak pada interaksi manusia, termasuk interaksi mahasiswa selama perkuliahan. Namun, tahun ini mahasiswa akan kembali lebih banyak melakukan pertemuan secara langsung (luring) setelah sekian lama mereka hanya bertemu melalui layar atau pesan singkat. Ada yang sudah tidak sabar hal ini terjadi, tetapi ternyata ada juga yang mengalami kebingungan atau bahkan cemas dengan situasi harus bertemu orang lain secara langsung.

Keluarga Cemara yang terdiri dari Abah, Emak, Euis, Cemara/Ara dan Ragil telah menetap sekian tahun di desa mengalami berbagai tantangan baru. Abah mendapatkan pekerjaan baru di peternakan ayam sehingga mengharuskannya lebih banyak di luar rumah dan belum bisa menepati janji untuk memperbaiki kamar baru Ara. Euis yang beranjak remaja juga memiliki kesibukan di luar rumah sehingga tidak bisa menjemput Ara pulang sekolah—seperti yang dijanjikan sebelumnya. Emak, berusaha untuk mengembangkan bisnis sampingan opak sehingga kurang memperhatikan perkembangan anak-anaknya kecuali Ragil yang masih balita. Intinya, keluarga ini memiliki banyak sekali kesibukan sehingga kurang bisa meluangkan waktu dengan anggota keluarga yang lain. Sounds familiar?

Usia keemasan atau golden age merupakan periode yang terjadi ketika anak masih berada di masa usia dini, yaitu ketika anak berusia 0-6 tahun. Pada masa golden age inilah otak berkembang pesat (eksplosif). Sejak lahir, otak anak tidak membentuk sel saraf otak kembali, namun pada masa ini terjadi penutupan akson sel saraf dan pembentukan hubungan antar sel, di mana dua hal tersebut berperan penting terhadap kecerdasan anak. Penelitian menyebutkan bahwa kapabilitas kecerdasan manusia terjadi atau terbentuk dengan pesat pada awal kehidupan. Lebih spesifiknya, 50% diantaranya terbentuk ketika manusia berusia 4 tahun, dan mencapai 80% pada usia 8 tahun. Lalu, bagaimana peran orangtua dalam mengoptimalkan usia emas anak?