Donasi merupakan tindakan memberikan uang atau barang oleh individu atau organisasi kepada mereka yang membutuhkan. Bagi yang menerima donasi tentunya hal ini akan menimbulkan perasaan senang. Bagaimana dengan yang berdonasi? Apakah juga menimbulkan perasaan senang? Seorang karyawan sebuah perusahaan di Jakarta, yang sudah enam tahun secara rutin mendonasikan barang-barang bekas yang masih layak dipakai, mengatakan “Mendonasikan baju layak pakai membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya”. Bagaimana mungkin karyawan tersebut dapat merasa bahagia setelah memberikan bajunya kepada orang lain?

Penulis menjadi teringat dongeng Nasruddin Hoja, ketika ia menolong seorang kaya yang pelit yang hampir hanyut di sungai. Orang kaya tersebut dikenal sangat sulit memberi. Alkisah pada suatu hari si orang kaya tergelincir di sungai dan hampir hanyut terbawa arus sungai. Orang-orang yang berada di tempat itu segera menolong dengan menjulurkan tangannya sambil berkata “Berikan tanganmu…”. Tetapi si orang kaya tidak mau menberikan tangannya dan terus berteriak “Tolong…tolong…tolong”. Tibalah Nasruddin Hoja di situ, ia sangat mengenal sifat orang kaya tersebut yang pelit dan tidak pernah memberi. Nasruddin dengan sigap menjulurkan tangannya ke sungai sambil berteriak “Ayo ambil ini tangan saya”, dan segera saja si orang kaya meraih tangan Nasruddin Hoja. Sebagai orang yang pelit, orang kaya tersebut tidak mau memberikan tangannya, walaupun untuk keselamatan dirinya sendiri. Namun, ketika orang memberikan tangannya untuk dia pegang, barulah orang kaya tersebut meraihnya.

Membaca kisah di atas, sangat berbeda perasaan yang muncul pada karyawan tersebut dibandingkan dengan orang kaya yang pelit. Yang satu merasa bahagia setelah memberi, sementara yang lain tidak pernah mau memberi, dia hanya mau menerima atau mengambil saja.

Berdonasi termasuk dalam bahasan perilaku prosocial behavior, yaitu perilaku yang bertujuan mensejahterakan/menguntungkan orang lain. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Kassin tersebut, kebaikan dari perilaku menolong lebih ditujukan kepada orang lain. Apakah tidak ada dampaknya pada si pemberi pertolongan? Menjadi menarik mendiskusikannya dari sudut pandang teori psikologi.

Perilaku menolong (prosocial behavior) dapat bervariasi bentuknya, mulai dari yang sangat ringan seperti membukakan pintu untuk orang lain, sampai dengan membantu orang lain dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Sesederhana apapun bentuk perilaku menolong, terlihat adanya manfaat pada orang yang menerima pertolongan. Terlebih bila pertolongan yang diberikan berdampak pada selamatnya nyawa seseorang, tentunya hal ini akan memberikan kebahagiaan yang tidak ternilai bagi yang menerima pertolongan. Lalu, bagaimana pada diri si penolong? Apakah ada manfaat untuk dirinya?

Individu dalam melakukan perilaku menolong tentunya dilandasi oleh motif tertentu. Bisa saja ia ingin mendapat pujian, atau mendapatkan keuntungan, atau murni karena ingin menolong. Salah satu teori dalam psikologi mengatakan bahwa individu  menolong antara lain didasari oleh motif untuk mengurangi perasaan sedih atau rasa bersalah atau perasaan negatif lainnya yang muncul pada dirinya sebagai dampak melihat kondisi korban. Teori ini disebut dengan negative state relief model (menolong untuk mengurangi perasaan negatif pada diri sendiri). Misalnya, ketika kita melihat orang-orang yang kelaparan atau kita mengetahui ada orang-orang yang kelaparan di suatu tempat, pengetahuan ini menimbulkan perasaan tidak nyaman pada diri kita (disebut sebagai perasaan negatif). Untuk menghilangkan perasaan negatif tersebut maka kita harus melakukan tindakan tertentu, misalnya dengan memberi donasi ke organisasi yang akan membantu menyelamatkan orang-orang tersebut dari kelaparan.

Pendekatan teori negative state relief model menjelaskan bahwa pada dasarnya individu menolong untuk mensejahterakan dirinya/perasaannya sendiri. Dikatakan dalam teori tersebut bahwa dengan menolong dapat menimbulkan perasaan feel good pada diri individu. Dengan perkataan lain, perilaku menolong dapat berperan sebagai perilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif pada diri sendiri, atau untuk memperbaiki suasana hati diri sendiri sebagai akibat ketidaknyamanan melihat ada orang lain yang sedang kesusahan. Misalnya, ketika kita melihat korban banjir di tempat penampungan, mereka banyak yang kekurangan sandang-pangan. Kita melihatnya menjadi kasian dan mengganggu pikiran kita. Hal ini memotivasi kita berdonasi untuk meringankan beban hidup para korban banjir. Dengan terbantunya para korban, maka perasaan kita menjadi lebih nyaman.

Melihat dampak positif, baik pada penerima donasi maupun donatur, maka menjadi hal yang sangat baik bila perilaku berdonasi, atau pun bentuk perilaku menolong lainnya seperti menjadi relawan, mengajarkan suatu keterampilan pada orang lain, dan lain-lain bisa dilatihkan pada masyarakat. Beragam cara dapat dilakukan, antara lain dimunculkannya model-model prosocial yaitu tokoh-tokoh yang memberikan contoh berdonasi atau melakukan perilaku menolong. Kekuatan dari model dalam memengaruhi munculnya perilaku berdonasi terutama cukup efektif untuk anak-anak. Adanya norma yang mendukung perilaku berdonasi juga dapat memengaruhi masyarakat untuk berdonasi. Media juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi muncul atau tidaknya suatu perilaku di masyarakat.

Berdonasi merupakan salah satu bentuk perilaku menolong yang memberikan manfaat tidak saja pada individu yang dibantu, tetapi juga dapat memberikan rasa senang pada individu yang melakukannya. Sebagai sebuah perilaku, maka berdonasi dapat dibentuk antara lain melalui peranan model, norma, dan media.

Authors

Bagikan artikel ini

Artikel terkait