Di artikel sebelumnya (“Saya Akan Konseling: What To Expect?“), penulis telah memaparkan hal-hal yang mungkin akan terjadi saat memulai konseling. Setelah seseorang memulai konseling, mungkin akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru mengenai proses konseling. Beberapa konseling mungkin akan terasa tidak nyaman bagi individu karena menguak hal-hal yang mendalam atau luka-luka di masa lampau. Namun, ada beberapa peringatan dan tanda-tanda (red flags) yang perlu disadari dari proses konseling yang mengindikasikan bahwa proses konseling sudah tidak profesional, tidak sehat, bahkan mungkin perlu dihentikan.

Apa saja hal-hal penting yang perlu disadari oleh klien ketika berada dalam sebuah sesi konseling? Berikut ini beberapa hal yang perlu dicermati:

  1. Konselor membocorkan percakapan klien tanpa persetujuan klien.

Di dalam konseling, terdapat prinsip kerahasiaan, atau confidentiality, di mana konselor wajib untuk menjaga percakapan klien selama konseling. Ada beberapa batasan juga dalam confidentiality yang mengizinkan bahkan mewajibkan konselor untuk membuka isi percakapan tanpa perlu persetujuan klien, misalnya klien membahayakan dirinya dan orang lain, klien melakukan tindakan kriminal, dan sebagainya. Namun, di luar batasan-batasan ini, tidak seharusnya konselor membuka percakapan dengan klien, seperti mendiskusikan tentang klien kepada rekan atau orang lain atau keluarga klien tanpa persetujuan klien, termasuk menjadi bahan gosip ataupun membicarakan mengenai klien satu kepada klien lainnya.

  1. Klien tidak merasakan adanya kemajuan atau perkembangan dalam konseling.

Di dalam konseling, ada yang dinamakan dengan rencana penanganan. Konselor mendiskusikan dengan klien target/tujuan yang ingin dicapai melalui sesi konseling serta rencana tentang bagaimana mencapainya. Seringkali, sesi-sesi di awal konseling akan cukup menantang bagi klien, sehingga klien belum merasakan perkembangan atau kemajuan dalam permasalahannya. Namun, jika sampai beberapa kali sesi klien sama sekali tidak merasakan perkembangan, maka klien perlu menyampaikan keluhan ini kepada konselornya. Konselor yang baik akan mengulas kembali rencana penanganannya dan bahkan memodifikasi jika diperlukan. Namun, jika konselor defensif, tidak bersedia mendengarkan pertimbangan dari klien, dan tidak dapat mempertanggung-jawabkan rencana penangannya pada klien, maka relasi konseling ini bukanlah yang tepat untuk klien dan klien berhak untuk mengundurkan diri dari proses konseling.

  1. Konselor lebih banyak membicarakan dirinya sendiri dibandingkan mendengarkan permasalahan klien.

Terdapat suatu teknik dalam konseling yang dinamakan sebagai self-disclosure, yaitu bagaimana konselor membagikan informasi mengenai hidup mereka di luar relasi konseling kepada klien. Hal ini memang diperbolehkan dengan tujuan memberikan contoh pada klien dan membukakan perspektif klien. Namun, self-disclosure yang dilakukan terlalu sering justru akan mengganggu efektivitas konseling. Ingatlah bahwa tugas konselor di sini adalah mendengarkan dan membantu klien, bukan membagikan pengalaman pribadinya.

  1. Klien merasa selalu dihakimi dan tidak didengarkan oleh konselor.

Dalam relasi yang dekat, konflik merupakan suatu hal yang wajar, dikarenakan perbedaan individu satu dengan yang lainnya. Namun, jika dalam relasi konseling klien merasa tidak dipahami oleh konselor, tidak merasakan empati dari konselor bahkan merasa diabaikan, tidak didengarkan, atau dihakimi, sepertinya ini bukanlah relasi konseling yang tepat untuk klien. Hal ini menandakan minimnya relasi terapeutik antara klien dan konselor, yang pada akhirnya akan membuat konseling tidak lagi efektif. Penelitian yang dilakukan Lambert & Barley menemukan bahwa relasi terapeutik (atau disebut juga dengan therapeutic alliance) berkontribusi besar dalam efektivitas konseling, melampaui kelihaian teknik konseling dari konselor ataupun motivasi dari klien.

  1. Konselor tidak menunjukkan profesionalitas.

Ada berbagai jenis konseling di Indonesia, mulai dari konseling profesional sampai konseling awam. Namun, jika klien berada dalam konseling profesional, maka konselor perlu menunjukkan profesionalitas. Profesionalitas ini akan tercermin dari sikap konselor selama konseling, prosedur / tata cara konseling yang jelas dan dikomunikasikan kepada klien, kredensial dan lisensi/izin praktik konselor, tempat konseling yang memadai (misalnya di kantor atau klinik bukan di café atau restoran), dan bagaimana konselor bersikap di luar sesi konseling (misalnya tidak menghubungi klien untuk sekedar mengobrol, hangout, atau hal-hal di luar kepentingan konseling). Perbedaan konteks konseling tentu memerlukan pendekatan dan tata cara yang berbeda. Namun, konselor yang profesional akan dapat mempertanggung jawabkan dan memiliki prosedur yang jelas. Biasanya hal ini tertulis dalam informed consent, dokumen yang diberikan di awal sesi konseling yang menjelaskan tata cara konseling, kredensial, dan pendekatan konseling yang dipakai. Tanpa kejelasan mengenai hal-hal ini, klien perlu mempertanyakan apakah ia diperlakukan secara profesional atau tidak.

Jadi, bagaimana jika saat ini saya sedang menjalani sesi konseling dan menemukan satu atau beberapa red flags ini? Penulis menyarankan agar klien dapat mengomunikasikan hal ini kepada konselor yang sedang bekerja sama dengan Anda. Jika konselor terbuka dan dapat mempertanggung-jawabkan keluhan Anda dan dapat bekerja sama dengan Anda untuk memberikan manfaat dari sesi konseling yang Anda jalani, maka Anda sedang berada dalam relasi konseling yang konstruktif dan akan menjadi pengalaman yang berharga bagaimana Anda bersikap asertif dan mengatasi konflik dalam berelasi. Namun, jika konselor Anda justru menjadi defensif, tidak mau mendengarkan keluhan Anda sebagai klien, dan tidak dapat mempertanggung jawabkannya, maka mungkin ini waktunya bagi Anda untuk mencari bantuan dari profesional lainnya yang dapat memberikan manfaat yang setimpal atas usaha, energi, waktu, dan uang yang Anda gunakan untuk memperoleh layanan konseling ini.

Author

  • Jessica Ariela

    Jessica Ariela merupakan dosen Fakultas Psikologi di Universitas Pelita Harapan. Ia memiliki ketertarikan dalam topik attachment dan relasi dekat, edukasi, konseling, dan trauma.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait