Keluarga Cemara merupakan cerita dari sinetron lawas yang diangkat dalam bentuk layar lebar di tahun 2018. Keluarga ini terdiri dari Abah (ayah), Emak (ibu), dan anak-anaknya, Euis dan Ara/Cemara. Dikisahkan pada film pertama ini, keluarga Cemara mengalami kebangkrutan karena penipuan dalam bisnis, sehingga rumah mereka disita dan mereka berpindah ke desa untuk melanjutkan kehidupan. Abah mengamati dan berasumsi bahwa keluarga kecilnya tidak kerasan di desa hingga ia memutuskan (secara sepihak) untuk menjual rumah di desa sebagai modal untuk kembali ke Jakarta. Hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi anak-anak, terutama Euis dan Ara yang mulai beradaptasi dan menyukai lingkungan barunya. Asumsi yang tidak disertai komunikasi yang lancar membuat keputusan yang dibuat Abah keliru dan tidak mendapat persetujuan anggota keluarga yang lain.
Virginia Satir, seorang tokoh psikoterapi yang memfokuskan konseling pada keluarga menyebutkan bahwa komunikasi merupakan payung besar yang akan menaungi anggota keluarga, dan akan menentukan jenis hubungan antar anggota. Setiap anggota keluarga seharusnya mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya dengan terbuka kepada anggota lain, bukan mengasumsikan pikiran orang lain, terutama tanpa validasi yang tepat. Penulis pernah mendapatkan nasihat di masa lalu bahwa asumsi merupakan lonceng kematian, sehingga bukan merupakan hal yang tepat untuk dilakukan.
Lalu, mengapa ada orang yang mengasumsikan pikiran dan perasaan orang lain? Sheri Jacobson, seorang psikoterapis yang berbasis di Inggris, menyatakan asumsi dibuat karena pihak yang memerlukan informasi tidak bertanya langsung pada pihak pemberi informasi. Di film Keluarga Cemara, Abah tidak menanyakan pendapat masing-masing anggota keluarga mengenai ide kembali ke Jakarta. Abah juga tidak mengetahui bahwa Euis, anak sulung mereka, merasa bukan bagian dari kelompok menarinya sehingga lebih nyaman dengan teman-teman yang baru. Asumsi merupakan hasil pemikiran unik pribadi, yang mungkin saja berbeda dengan pihak lain atau tidak tervalidasi. Asumsi yang keliru akan mendatangkan banyak kerugian, seperti hubungan yang menjadi tertutup, merasa tidak terkoneksi, bahkan merasa dihakimi dan berpotensi merusak hubungan.
Dari dinamika keluarga yang ditampilkan dalam film tersebut, bisa disimpulkan bahwa asumsi dalam hubungan akan lebih berdampak buruk. Lalu, apa yang bisa kita lakukan jika begitu banyak asumsi mewarnai kehidupan berkeluarga? Untuk mengatasinya, kita bisa mulai dengan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan yang kita miliki baik dalam bentuk tulisan atau lisan dengan anggota keluarga lain. Untuk dapat memahaminya lebih lanjut, berikut beberapa tips yang bisa diterapkan:
- Periksa konteks pembicaraan, mulai dari lingkungan yang akan dijadikan setting berbicara hingga kondisi lawan bicara, seperti apakah lawan bicara dalam kondisi mood yang baik, apakah ia menyukai pemilihan topik ini berdasarkan pengalaman sebelumnya. Hal ini menjadi penting agar pesan dapat tersampaikan dengan jelas.
- Periksa kondisi emosional kita (sebagai pemberi pesan). Apakah kita dalam kondisi siap untuk memberi pesan dengan tenang? Apakah pemberi pesan sedang terganggu karena hal tertentu yang belum tentu ada hubungannya dengan penerima pesan?
- Sampaikan pesan dengan jelas, dengan menampilkan kongruen atau pesan yang selaras antara pesan lisan dan bahasa tubuh. Menyampaikan ‘Saya OK’ tetapi nafas memburu seakan-akan sedang menahan marah, merupakan contoh pesan yang tidak kongruen.
- Perhatikan penyampaian pesan. Gunakan i-message/pesan dengan perspektif saya berfokus pada pikiran dan perasaan yang saya rasakan. Penggunaan i-message yang tepat mengurangi perasaan dituduh, disalahkan atau terancam.
- Jadilah pendengar yang baik. Komunikasi memerlukan pembicara dan pendengar. Saat sudah terlatih untuk menjadi pembicara yang baik, cobalah mengambil posisi sebagai pendengar yang sama baiknya, dengan memberikan respon yang tepat terhadap informasi, nada suara dan bahasa tubuh yang ditampilkan oleh lawan bicara.
Proper communication will always be a main ingredient for building solidarity and permanence.
-Marvin J Ashton