Antara Ada dan Tiada: Ancaman Perilaku Phubbing dalam Relasi Pernikahan

Perkembangan pesat teknologi dan semakin derasnya arus informasi membuat manusia, secara sadar maupun tidak, menjadi sangat lekat dengan ponsel/gadget, mulai dari anak-anak hingga lansia. Pada dasarnya, banyak manfaat yang bisa didapatkan dari perkembangan teknologi. Namun, jika digunakan secara berlebihan, seperti munculnya perilaku phubbing, tentu akan berdampak negatif bagi berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam relasi pernikahan.

Apa itu “phubbing“? Meskipun istilah ini mungkin  masih asing di telinga sebagian masyarakat, tanpa disadari, perilaku phubbing dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, bahkan termasuk diri kita sendiri. Phubbing merupakan gabungan dari kata phone dan snubbing. Phubbing merujuk pada perilaku mengabaikan orang lain dengan lebih memilih untuk berfokus pada ponsel/gadget kita. Beberapa contoh perilaku phubbing antara lain: kita memilih untuk bermain game di ponsel kita dibandingkan mendengarkan orang lain yang sedang berbicara dengan kita; kita memilih untuk membalas pesan WhatsApp saat sedang makan bersama keluarga; atau kita memilih untuk fokus melihat update Instagram story terbaru saat sedang menonton televisi bersama pasangan.

Apa dampak phubbing terhadap relasi pernikahan? Pada dasarnya, phubbing merupakan bentuk spesifik dari eksklusi sosial, yaitu kondisi di mana individu dikucilkan oleh lingkungannya. Pengalaman dikucilkan ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan hidup individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku phubbing membuat beberapa kebutuhan dasar pasangan yang menjadi phubbee (pihak yang menerima perilaku phubbing) terancam tidak terpenuhi, yaitu kebutuhan akan rasa kepemilikan (belonging needs), harga diri (self-esteem), keberadaan yang bermakna (meaningful existence), dan kontrol (control).

Selain itu, phubbee cenderung merasa ditolak, diasingkan, dan tidak penting yang akhirnya dapat mengganggu kesehatan mentalnya. Semakin tinggi frekuensi perilaku phubbing dilakukan oleh pasangan (phubbers), maka pasangannya (phubbee) akan memiliki persepsi yang lebih buruk tentang kualitas komunikasi dan kepuasan pernikahannya. Tidak hanya itu, dampak lain dari perilaku phubbing yang dilakukan pasangan antara lain ketidakterhubungan secara emosi hingga kesehatan mental yang memburuk.

Di sisi lain, phubbing juga berdampak negatif kepada phubbers (pihak yang melakukan perilaku phubbing). Phubbers cenderung kurang dapat menikmati aktivitas yang sedang dilakukan, sehingga kurang dapat merasakan manfaat dari aktivitas tersebut. Phubbers juga kurang merasakan keterlibatan dalam relasinya dengan orang lain, sehingga dapat meningkatkan peluang mengalami kesepian, gejala depresif, kecemasan, dan memiliki kepuasan hidup yang lebih rendah tanpa mereka sadari.

Dari apa yang telah dijelaskan, kita dapat melihat bahwa perilaku phubbing memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada pelaku (phubbers), tetapi juga pada pasangan (phubbee). Dampak buruknya tidak hanya pada relasi antar-pasangan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain dari masing-masing individu. Lalu, apa yang perlu kita upayakan dalam relasi kita bersama pasangan? Pertama, kita perlu menyadari dan memahami perilaku phubbing dalam relasi dengan pasangan, entah dilakukan oleh diri kita sendiri atau pasangan, atau justru keduanya. Kita perlu memahami bahwa tidak semua perilaku yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat adalah perilaku yang benar dan sehat. Diskusikanlah dengan pasangan apa yang kita rasakan dan pikirkan mengenai perilaku phubbing dalam relasi ini.

Kedua, memahami bahwa alasan utama munculnya perilaku phubbing adalah keinginan untuk terhubung dengan orang lain. Hanya saja, caranya mungkin kurang tepat. Dalam hal ini, kita tidak akan pernah dapat mengontrol perilaku orang lain, tapi kita dapat mengontrol perilaku kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mulai untuk present dan mindful, yaitu benar-benar hadir secara fisik dan psikologis bersama pasangan, sebelum kita meminta pasangan melakukan hal yang sama. Dengan menjadi present dan mindful, kita dapat lebih terhubung dan lebih mudah berempati dengan pasangan kita.

Ketiga, membuat komitmen dengan pasangan untuk meluangkan waktu khusus. Rencanakanlah kegiatan bersama pasangan dan berkomitmen untuk tidak menyentuh ponsel/gadget di waktu tersebut, sehingga bisa fokus satu sama lain. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baik kita maupun pasangan perlu melatih diri untuk menjadi present dan mindful. Kita juga perlu ingat bahwa ini adalah sebuah proses yang terkadang tidak mudah. Oleh sebab itu, kita bersama pasangan perlu  saling memahami apabila sewaktu-waktu kembali melakukan phubbing dan kembali berusaha lagi.

Marriage is not the beginning of the journey, nor the end – it is the journey.

-Carew Papritz-

Author

Bagikan artikel ini

Artikel terkait