Dalam hidup ini, stres akan muncul ketika individu merasa bahwa tuntutan yang diberikan oleh lingkungan (atau bahkan dirinya sendiri) sudah melebihi kapasitas. Maka itu, diperlukan strategi penyelesaian masalah yang diharapkan bisa meminimalisir stres. Terdapat beragam strategi yang mampu membantu individu untuk mencapai keadaan tersebut. Salah satunya adalah “healing”. Istilah “healing” ini menjadi topik perbincangan hangat generasi muda di media sosial beberapa waktu belakangan ini. Healing menjadi cara populer kaum muda untuk beradaptasi dengan situasi stres. Pertanyaannya, apakah upaya tersebut merupakan langkah yang tepat, atau malah tidak menyelesaikan masalah?
Banyak ilmuwan dan peneliti yang mencoba mengungkap cara untuk mengatasi stres yang sering disebut sebagai coping. Richard Lazarus dan Susan Folkman dalam bukunya yang berjudul “Stress, Appraisal, and Coping” mendefinisikan coping sebagai suatu upaya kognitif dan perilaku yang terus berubah untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal tertentu yang dinilai membebani atau melebihi kemampuan individu. Mereka juga mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua jenis, yakni problem-focused coping dan emotion-focused coping, yaitu berfokus pada masalah atau berfokus pada emosi.
Emotion-focused coping inilah yang sebenarnya menjadi istilah ilmiah dari kata healing yang sering digaungkan oleh anak muda. Emotion-focused coping menjadi alternatif bagi individu yang bertujuan untuk mengatur perasaan dan respon emosional ketika dihadapkan dengan sumber stres. Fokus utama yang disasar dari strategi ini adalah kemampuan untuk meregulasi emosi negatif pada diri individu.
Hal tersebut menjadi sejalan ketika merujuk pada sejumlah aktivitas healing, seperti misalnya bertemu teman atau keluarga untuk mendapatkan dukungan secara emosional, melakukan aktivitas ‘me time’ untuk kembali menyatukan pikiran atau hati bahwa masalah dapat dilewati, ataupun cara-cara populer lainnnya. Serangkaian kegiatan tersebut memang bertujuan untuk memuaskan diri sendiri agar kembali memunculkan emosi positif. Akan tetapi di sisi lain, emotion-focused coping diyakini bukanlah upaya yang berdampak panjang, sebab pada hakikatnya tidak bertujuan menyelesaikan sumber utama masalah.
Mengingat bahwa emotion-focused coping ini tidak memecahkan masalah secara langsung, maka problem-focused coping menjadi alternatif solusi yang sifatnya lebih berkelanjutan. Problem-focused coping sendiri menjadi sebuah model penanganan stres dengan cara menghadapinya secara aktif, serta kemudian mengambil tindakan untuk mengatasi penyebab yang mendasari masalah yang dialami. Contohnya dengan melihat situasi dan membuat rencana, atau mencari bantuan untuk menyelesaikan masalah.
Fokus utama yang dikejar oleh strategi ini adalah analisis obyektif dan langkah-langkah penyelesaian yang bertujuan untuk mereduksi stresor. Hasil penelitian melaporkan bahwa problem-focused coping dapat memiliki efek jangka panjang untuk mengatasi masalah, walaupun tetap diperlukan usaha. Selain itu, dalam sebuah studi yang berbeda, ditemukan bahwa problem-focused coping lebih baik dari emotion-focused coping jika dikatikan dengan masalah kesehatan.
Berdasarkan pemaparan di atas, penerapan “healing” atau emotion-focused coping tetap perlu dikombinasikan dengan problem-focused coping dalam rangka meraih manfaat maksimal. Hal itu karena emotion-focused coping memang tidak dapat menyelesaikan masalah secara langsung, melainkan sejatinya dapat membantu individu merasakan nyaman atau tenang kembali. Ketika sudah merasa jauh lebih baik setelah melakukan “healing“, maka tetap perlu adanya upaya lanjutan untuk menghadapi masalah secara aktif. Dengan begitu, individu akan menjadi jauh lebih berdaya lagi ketika menghadapi situasi stres dalam hidupnya.