“Saya bekerja dan memiliki penghasilan. Sepertiga penghasilan saya digunakan untuk menghidupi orang tua saya. Sepertiga lagi saya gunakan untuk membayar hutang dari bisnis orang tua saya. Sepertiga sisanya saya gunakan untuk biaya hidup saya selama satu bulan. Jujur saya sedang bingung karena sekarang saya masih sendiri. Akan tetapi, sebentar lagi saya mau menikah dan bingung mau membiayai keluarga saya nanti seperti apa.” Begitulah kisah dan keluh kesah dari sebagian kecil dari para sandwich generation yang memiliki beban menghidupi diri sendiri, orang tua, dan juga anak-anaknya. Apakah Anda termasuk yang memiliki kisah yang serupa? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan semua kebutuhan?
Konsep sandwich generation sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller pada tahun 1981. Menurutnya, sandwich generation adalah individu yang berada pada posisi harus memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri beserta anak-anaknya, sekaligus membantu memenuhi kebutuhan orang tua mereka. Kebutuhan yang dimaksud termasuk kebutuhan finansial, fisik, emosional, sosial, bahkan kombinasi dari keempatnya. Generasi ini diibaratkan seperti roti sandwich karena yang mendapatkan tuntutan memenuhi kebutuhan diri, anak dan orang tua. Akhir-akhir ini isu sandwich generation ini mulai banyak diperbincangkan banyaknya generasi muda sekarang yang harus mendukung kebutuhan finansial orang tua mereka sehingga istilah sandwich generation ini sangat lekat dengan sisi finansial.
Berbicara mengenai usia, sandwich generation berada pada rentang usia 40-65 tahun. Namun, perbedaan negara dan budaya membuat rentang umur ini menjadi cukup bervariatif. Seperti data yang didapatkan oleh Economist Intelligent Unit (2010) yang menunjukkan rata-rata usia sandwich generation di negara Asia Pasifik berada pada rentang usia 30-45 tahun. Untuk wilayah Amerika dan Kanada sendiri rata-rata usia sandwich generation berada pada rentang usia 44-55 tahun. Hal ini sangat bergantung dengan kondisi negara, budaya, agama, dan lainnya.
Bagi kita yang termasuk dalam golongan sandwich generation, ada beberapa hal yang bia dilakukan untuk mengurasi stress dan membuat beban finansial tidak memengaruhi sisi psikologis kita. Pertama, pastinya terkait dengan sisi finansial. Atur ulang perencanaan keuangan. Atur ulang kembali pos-pos keuangan yang anda miliki. Cari tahu informasi tentang perencanaan keuangan karna info ini banyak didapat di internet atau media sosial. Dengan adanya perencanaan keuangan yang baik, akan membantu anda lebih bijak, hemat dan membuka peluang berinvestasi. Dikutip dari tulisan tentang perilaku hemat oleh akun Instagram @fellexandro “hematlah dulu, sampai hemat menjadi satu dari sekian banyak pilihan di hidup kita”.
Kedua, perbaiki pola komunikasi dengan anggota keluarga. Bagi yang tidak terbiasa membicarakan keuangan dengan keluarga, maka mulailah. Ini akan membantu meringankan beban anda karena kita secara psikologis tentu akan mendapat social support dari keluarga kita. Ketiga, dengan manajemen keuangan yang baik tentunya kita perlu memikirkan tabungan dan investasi. Kita berharap dengan investasi dan tabungan membantu kita memutus mata rantai sandwich generation ini ke anak-cucu kita.
Selanjutnya, lindungi diri dan keluarga dengan asuransi kesehatan. Cobalah memiliki asuransi kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan kita. Terakhir, jangan lupa selalu bersyukur dan berpikir positif. Bersyukur membuat kita lebih bisa menerima setiap situasi dan berpikir positif atas semua yang sedang dihadapi. Hal ini memang tidak mudah, tetapi dengan bersyukur membuat kita terhindar dari rasa tertekan dan stres.
Apabila dilihat dari unggahan maupun perbincangan di sosial media, banyak yang bercerita tentang beratnya perjuangan mereka menjadi sandwich generation terutama jika dilihat dari faktor finansial. Mereka merasa tertekan bahkan stres di tempat kerja karena faktor finansial. Beberapa di antaranya bahkan hingga resign karena ingin fokus merawat orang tua, terlilit hutang, atau secara psikologis menunda mimpi karena tuntutan membantu orang tua. Namun, di sisi lain jika dilihat dari sisi nilai agama dan budaya yang ada di Indonesia, mengurus orang tua dan anak juga memiliki sisi positif karena dapat meningkatkan kelekatan dan kehangatan dalam keluarga.