Kesaksian Saksi Mata Anak-Anak dalam Kasus Hukum

Setiap tahun ratusan ribu anak menjadi korban atau menyaksikan suatu kejahatan. Beberapa di antaranya kemudian menjadi saksi dalam penyelidikan forensik dan kasus hukum. Namun, mempercayai kesaksian seorang anak cukup menjadi dilema bagi penegak hukum. Kesaksian saksi mata anak-anak ibarat pedang bermata dua. Apa maksudnya?

Di satu sisi, tidak mempercayai kesaksian akurat mereka dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan, karena penjahat bebas berkeliaran melancarkan aksinya. Misalnya, tahun 1995-an di Antioch, California, terdapat seorang anak berusia 14 tahun memberitahu pendetanya bahwa ia dan lima saudara perempuannya dilecehkan secara seksual oleh orang tuanya. Namun, laporan tersebut gagal memberikan hukuman pada pelaku, yaitu orang tuanya sendiri. Mereka terus mendapat perlakuan buruk dari orang tua mereka. Hingga pada satu saat ada pekerja sosial yang mengunjungi rumah mereka dan mengetahui kejadian sebenarnya, lalu menyerahkan laporan ke pihak berwenang. Akhirnya, tahun 2011 membuahkan hasil berupa 300 tahun penjara untuk Bruce (ayah) dan 15 tahun penjara untuk Glenda (ibu).

Di sisi lain, mempercayai kesaksian anak-anak juga dapat menimbulkan ketidakadilan, karena adanya hukuman tak bersalah. Dalam Kasus David Wiggins pada Juli tahun 1988, gadis usia 14 tahun menelepon 911 karena mengalami pemerkosaan. Dia menceritakan kejadian yang terjadi saat itu dan mengungkapkan bahwa dia melihat sekilas wajah pelaku. Dua hari setelah kejadian, korban diperlihatkan deretan foto yang diduga pelaku dan menulis “terlihat familiar” di sebelah foto Wiggins. Kesaksian tersebut membuatnya diidentifikasi sebagai pelaku. Namun, setelah 20 tahun penahanan, kemudian dilakukan tes DNA yang hasilnya menunjukkan bahwa dia bukan pelakunya, sehingga Wiggins dibebaskan.

Kesalahan yang timbul seperti kasus di atas dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun pada dasarnya, melibatkan anak dalam kasus hukum ditujukan demi melindungi anak-anak dan orang lain dari bahaya dan memastikan keadilan. Tidak ada banyak pilihan selain memasukkan saksi anak dalam kasus hukum, terutama ketika bukti lain kurang atau ketika kesaksian anak memainkan peran kunci dalam penuntutan.

Dalam mempelajari kemampuan saksi mata anak-anak, maka dalam psikologi forensik penting juga memahami terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan memori pada anak-anak. Secara keseluruhan, kinerja memori meningkat di masa kanak-kanak dan dewasa, termasuk juga pada memori saksi mata. Namun, berdasarkan penelitian di bidang memori, anak seringkali lebih melibatkan orang-orang yang dikenal dan peristiwa-peristiwa yang membuatnya trauma ataupun stres dalam ingatannya. Ingatan saat mengalami stres dan peristiwa traumatis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia ketika peristiwa terjadi, berulang atau peristiwa tunggal, dan apakah anak tersebut menjadi korban atau hanya saksi mata.

Bagaimanapun juga keberadaan anak sebagai saksi mata haruslah diberikan perlindungan. Prinsip ini sejalan dengan konvensi The United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) yang telah disahkan dan setujui oleh negara anggota kecuali tiga negara termasuk Amerika Serikat, yang menetapkan bahwa:

  1. Negara harus menjamin anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri hak dan kebebasan untuk menyatakan pendapat. Dan pandangan-pandangan tersebut diberi bobot yang semestinya.
  2. Secara khusus anak diberikan kesempatan untuk didengar dalam proses peradilan dan administrasi dengan cara yang sesuai dengan aturan prosedur hukum nasional.

Banyak negara yang sedang atau akan berjuang untuk mendengarkan saksi anak dalam konteks hukum, dan ilmu psikologi berada diposisi yang besar untuk memberi berkontribusi yang berarti.

 

Artikel ini merupakan ringkasan dari bab “Evaluating Eyewitness Testimony of Children” oleh Hobbs dkk. (2013) dalam buku “The Handbook of Forensic Psychology (4th ed.)” yang diterbitkan John Wiley & Sons, Inc.

Authors

Bagikan artikel ini

Artikel terkait