“Self love itu boleh nggak sih?”, “Ntar kita jadi egois kalau self love?”, “Nanti kalau kita self love, orang gak suka lagi sama kita?”

Ungkapan di atas sering sekali terdengar ketika membahas mengenai self love. Baru-baru ini, sekumpulan anak-anak muda kurang lebih usia 18-25 tahun di salah satu komunitas gereja di Jakarta mulai menunjukkan kesadaran akan perlunya untuk melakukan self love. Ketika dilakukan survey ke beberapa anak muda, beberapa menjawab bahwa perlu untuk melakukan self love tapi beberapa ragu untuk melakukannya.

Ditinjau secara teoretis, individu di usia 18-25 tahun termasuk dalam masa emerging adulthood, yang merupakan tahap perkembangan yang tidak bisa dikatakan masih remaja, tetapi  di saat yang sama juga belum bisa dikatakan dewasa. Masa ini sering dikatakan sebagai masa transisi dari remaja akhir menuju ke masa dewasa. Sepanjang periode ini, seorang individu mulai melakukan eksplorasi dalam hal cinta, dan mungkin juga dunia pekerjaan.

Tidak hanya itu, masa perkembangan ini juga adalah masa di mana perlu untuk mulai membuktikan diri kepada lingkungan bahwa otonomi atau kebebasan mereka berhak untuk diakui. Sebenarnya tanpa perlu membuktikan diri, lingkungan seperti orang tua, teman dan sebagainya perlu untuk memberikan kesempatan bagi para emerging adulthood untuk lebih mandiri dalam membuat keputusan bagi diri sendiri, termasuk dalam hal self love.

Self love di masa ini sangat perlu untuk memberikan ruang kepada diri sendiri, terutama untuk memahami emosi-emosi yang muncul dalam diri. Emosi-emosi tersebut dapat muncul akibat kebingungan mengenai jati diri. Respon emosional ini kadang dibutuhkan untuk memahami kemarahan-kemarahan yang mungkin bisa muncul ketika ada hal-hal yang tidak sesuai. Individu di masa ini juga perlu belajar untuk memberikan ruang kepada diri sendiri dan batasan sejauh mana lingkungan boleh memasuki wilayah personal.

Dalam hal ini, bukan berarti lingkungan harus melepas benar-benar individu tanpa panduan, tetapi perlu untuk secara perlahan melepas otoritas penuh yang selama ini dimiliki, terutama dari lingkungan terdekat seperti orang tua. Artinya, memasuki masa emerging adulthood ini, orang tua dan lingkungan perlu belajar untuk memberikan ruang untuk individu mulai menjajaki ranah pribadi. Orang tua dan lingkungan sekitar perlu memahami bahwa masa perkembangan ini merupakan waktu untuk mengeksplorasi hal-hal positif maupun negatif dalam dirinya. Dengan demikian, orang-orang terdekat diharapkan mulai memberikan kesempatan kepada individu untuk memberikan argumen mengenai keputusan-keputusan yang akan diambilnya.

Konteks self love yang perlu dikembangkan di sini bukan dinilai dari sisi negatif, bahwa seseorang itu menjadi egois dengan sangat mencintai diri sendiri atau mengagung-ngagungkan dirinya sendiri. Konteks self love dalam hal ini merupakan konteks mencintai diri sendiri dalam rangka memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk mengenal pribadi sendiri, dan memahami keinginan-keinginan dalam diri maupun harapan-harapan dalam diri dalam rangka menemukan jati diri. Konteks mencintai diri di mana individu perlu belajar memahami emosi-emosi yang muncul dalam diri sebagai respon akan suatu kejadian baik atau kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dan menentukan ekspresi emosi yang tepat, agar hidup tetap sehat secara mental.

Emosi, baik positif maupun negatif, perlu diekspresikan dengan tepat dan perlu diselesaikan dengan tepat, supaya diri tidak merasa kepenuhan akibat menyimpan emosi-emosi toxic yang tidak perlu. So, mari lakukan self love dan memberikan batasan kepada lingkungan sisi-sisi personal yang boleh dimasuki oleh orang lain maupun yang hanya boleh disentuh diri kita sendiri secara pribadi supaya siap untuk memasuki masa dewasa.

Author

Bagikan artikel ini

Artikel terkait