Rambu Solo’: Perjalanan Bertemu Duka pada Suku Toraja

Kehilangan adalah salah satu derita yang memilukan jiwa. Melepas suatu hal bukanlah perkara mudah, apalagi jika kita terbiasa “memiliki”-nya. Kematian merupakan salah satu momen kehilangan yang menimbulkan pilu dan duka, yang menyengsarakan jiwa yang ditinggalkan. Kematian menjadi puncak perpisahan kita dengan seseorang untuk selamanya. Menghadapi dan menerima duka adalah proses. Proses berduka sulit dijelaskan dan bersifat dinamis.

Elisabeth Kübler-Ross, psikiater yang pakar di bidang studi mengenai kematian, mengemukan model tahapan berduka: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, mood depresi, dan penerimaan akan kehilangan. Meskipun bukti empiris terhadap teori ini masih minim, penjelasan Kübler-Ross cukup relevan dan banyak digunakan dalam menjelaskan dinamika kedukaan seseorang. Kübler-Ross sendiri percaya bahwa setiap orang yang berduka akan melewati minimal dua tahap dari lima tahap tadi, dengan durasi dan urutan yang bisa berbeda-beda. Proses duka akan bersifat personal yang melibatkan latar belakang seseorang, termasuk nilai budaya dan kepercayaan.

Suku Toraja merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki ritual budaya yang khas dalam menghadapi peristiwa kematian, yaitu Rambu Solo’. Rambu Solo’ merupakan upacara adat pemakaman yang dilakukan untuk menghormati orang yang telah meninggal. Dahulu, para leluhur percaya upacara Rambu Solo’ dapat mengantarkan arwah orang yang meninggal agar lebih cepat menuju puya (alam roh). Namun dalam perjalanannya, tradisi ini seringkali menjadi wadah berduka. Bagaimana prosesnya?

Sebelum Rambu Solo’ dilakukan, keluarga akan bergotong royong mempersiapkan proses upacara. Masa persiapan bisa dalam hitungan berminggu-minggu, hingga bertaun-tahun. Pada masa ini, berdasarkan kepercayaan aluk to dolo (kepercayaan leluhur Suku Toraja), maka orang yang baru meninggal dan belum dimakamkan akan dianggap sedang terbaring sakit (tomakula). Pada tahap ini, setiap rumpun keluarga dan tetangga akan saling mendukung dengan saling bergantian berkunjung dan membawakan keperluan tomakula dan keluarga inti. Dalam kondisi ini, keluarga dan orang terdekat memiliki “jeda” untuk menerima suatu fakta bahwa orang yang dikasihi telah tiada.

Masa “jeda” hingga upacara pemakaman dilangsungkan, menjadi wadah untuk memproses dinamika duka cita yang muncul saat situasi kehilangan baru awal-awal dialami. Perasaan marah, sedih, kecewa, menyangkal yang mungkin muncul dapat dikelolah melalui ruang waktu saat merawat tomakula. Dalam kondisi ini, seseorang diperhadapkan dengan dinamika anticipatory grief (dukacita antisipasi). Kondisi ini dapat membantu seseorang mempersiapkan diri untuk melewati masa dukacita saat realita kehilangan telah datang.

Setelah persiapan upacara pemakaman telah selesai, maka Rambu Solo’ akan segera dilaksanakan. Upacara Rambu Solo’ biasanya dilakukan 6-7 hari atau lebih. Kondisi tomakula di masa ini sudah dianggap menjadi tomate (orang yang meninggal). Sanak keluarga dan rumpun tetangga, akan diperhadapkan dengan kenyataan perpisahaan dengan orang yang dikasihi. Pada prosesi ini, tangis dan duka mulai menyelimuti. Kehadiran dan dukungan sanak saudara dan tetangga yang berkumpul, menjadi kekuatan untuk berdiri menghadapi kenyataan duka.

Selama prosesi berlangsung, handai taulan keluarga, tetangga, dan rekan tomate akan bergantian berkunjung untuk mendukung keluarga dan membawa sumbangan. Para tamu akan disambut dengan ritual jamuan, di mana para tamu akan duduk bersama anggota keluarga yang ditinggalkan sambil disuguhkan kudapan. Kehadiran para tamu, dalam balutan prosesi jamuan, membuat keluarga yang ditinggalkan mendapatkan dukungan emosional dan juga dukungan material dalam masa berdukanya. Selain itu, dalam prosesi Rambu Solo’, keluarga besar akan datang berkumpul dan akan memiliki waktu bersama untuk bercengkerama saat sore menjelang malam hari. Di waktu istirahat ini, kehadiran anggota keluarga lainnya yang juga sedang merasa pilu akibat duka kehilangan, akan menjadi penopang kesedihan bagi seseorang.

Melewati dukacita pada prosesi Rambu Solo’ juga melibatkan adanya tarian adat ma’badong. Ini merupakan tarian yang mengekpresikan dukacita dan kehilangan, doa, dan harapan untuk melepas arwah, serta menjadi tarian untuk mengenang masa hidup dari tomate. Dalam tarian ini, setiap orang yang ditinggalkan memiliki wadah untuk mengekspresikan kesedihannya dengan adanya genggaman dukungan dari sesamanya dan juga sekaligus dapat menjadi menjadi ekspresi rasa rindu terhadap tomate, melalui ingatan akan perjalanan hidup tomate. Tarian ini sekaligus sebagai simbol pelepasan tomate yang sedang menuju puya dan bersatu dengan arwah para leluhur lainnya.

Rambu Solo’ merupakan upacara adat yang diselenggarkaan turun temurun hingga saat ini. Meskipun lahir dari kepercayaan aluk to dolo, Rambu Solo’ dapat menyediakan ruang waktu dan tempat bagi Suku Toraja dalam memproses duka cita kematian. Persekutuan dengan keluarga dan rumpun tetangga, menjadi fondasi seseorang dalam menghadapi rasa sedih setelah kehilangan. Kehadiran orang terdekat yang juga mengalami duka cita, menyokong seseorang untuk mampu dan berani melihat kenyataan pahit serta berjalan dalam kenyataan tersebut. Ratap dalam tarian duka cita ma’badong juga menjadi sarana bagi rumpun keluarga dalam mengekspresikan emosi sedih,marah, dan emosi lainnya dalam situasi dukacita. Selain sarat akan nilai jual pariwisata yang unik, Rambu Solo’ juga menjadi proses yang  bermakna untuk pemulihan duka cita bagi keluarga Suku Toraja yang mengalami kehilangan.

Author

  • Jessica Amelia Anna

    Jessica Amelia Anna merupakan Dosen Fakultas Psikologi di Universitas Pelita Harapan. Ia memiliki ketertarikan dalam bidang klinis dewasa dan topik seputar trauma dan dukacita

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait