Wanita seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi gender. Gender sendiri sebenarnya adalah konstruk sosial yang dibuat oleh manusia (yang tentunya dipengaruhi oleh budaya) untuk menentukan peran, kedudukan, maupun sifat dari gender yang kemudian dilekatkan kepada laki-laki maupun perempuan. Semisal, laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis, harus menjadi pemimpin. Sedangkan perempuan lebih baik mengurus anak dan rumah saja, tidak perlu mencapai pendidikan yang tinggi, dan sebagainya. Atau bahkan sejak kecil permainan pun seringkali dibatasi, laki-laki bermain bola, perempuan bermain boneka. Padahal nyatanya semua permainan bisa dimainkan oleh anak dengan gender apa pun.

Begitu juga ketika dewasa, semua orang bisa memimpin dan memiliki hak yang sama untuk bekerja, dan mendapatkan gaji yang setara sesuai dengan kemampuannya bukan karena gender-nya. Perempuan pun bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar seperti laki-laki dan sebaliknya laki-laki boleh dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh perempuan. Namun sayangnya, masih banyak orang yang cenderung bias terhadap peran gender ini, sehingga muncul sikap atau pun perilaku yang meremehkan terutama kepada perempuan. Kata-kata seperti, “masa kalah sama perempuan?” atau fokus yang diberikan kepada perempuan bukan tentang kemampuannya, tetapi kepada penampilan fisiknya, yang kemudian hal ini mengarah kepada perilaku obyektifikasi seksual kepada perempuan dan berujung ke tindakan pelecehan seksual. Hal ini menimbulkan dampak negatif kepada perempuan yang membuat mereka memandang bahwa dirinya adalah obyek seksual dan akhirnya mereka berusaha untuk terus tampil sempurna dan memperhatikan penampilannya daripada kemampuan diri yang sesungguhnya. Keadaan ini dapat membuat perempuan memandang keberhargaan dirinya melalui penampilan fisik saja. Tentu ini akan berdampak kepada kesehatan mental perempuan terutama tentang keberhargaan dirinya.

Dalam kondisi seperti ini, perempuan perlu menjadi lebih tangguh. Perempuan perlu lebih fokus untuk menunjukkan kemampuan dan potensi dirinya. Sebab keberhargaan diri perempuan bukan sekedar tentang memiliki tubuh yang elok dan penampilan yang menarik saja, tetapi juga memiliki kualitas diri yang sama baiknya seperti laki-laki. Memang tidak mudah untuk melakukannya, oleh sebab itu diperlukan resiliensi.

Secara sederhana, resiliensi adalah daya lenting. Bayangkan bola basket yang udaranya terisi penuh lalu dibanting ke lantai. Apa yang akan terjadi? Ia akan memantul, bahkan sangat tinggi apabila dibanting dengan sangat kencang. Begitu pula ketika kita memiliki resiliensi, maka saat ada tekanan maupun kesulitan yang “membanting” kita, maka kita akan mampu untuk bangkit lagi saat mengalami keterpurukan. Tekanan tersebut pasti akan menimbulkan rasa sakit, namun di sisi lain itu akan membuat kita melambung semakin tinggi, yang artinya membuat kita semakin kuat, bertumbuh dan menjadi perempuan yang tangguh.

Membangun resiliensi sama seperti membentuk otot. Butuh waktu dan intensi untuk membangun resiliensi tersebut. Menurut American Psychological Association, ada beberapa komponen yang dapat membantu untuk membentuk otot resiliensi kita. Pertama, membangun koneksi dengan komunitas yang positif, memilih relasi yang suportif yang dapat membangun dan memberikan dampak positif. Komunitas maupun relasi yang positif dapat menjadi bumper saat kita terpuruk sehingga kita tidak merasa sendirian dan tahu bahwa ada orang-orang yang akan menolong kita. Kedua, bangun pola hidup yang sehat secara holistik, yaitu bukan hanya sekedar olah raga dan makan yang sehat, tetapi juga mengatur pola tidur, meningkatkan kehidupan spiritual kita, hingga melatih mindfulness dengan cara meditasi, yoga atau membuat jurnal. Ingat, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ketiga, temukan makna dan tujuan hidup kita. Hidup ini bukan tentang memuaskan keinginan kita saja, tetapi tentang bagaimana kita menemukan makna hidup dan menjadi bermakna bagi orang lain.

Teruslah mencari kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperkuat otot resiliensi kita. Sehingga saat dalam keadaan terpuruk kita mampu untuk bangkit kembali.

 

Author

  • Grace Indrawati

    Seorang psikolog klinis dewasa dan dosen psikologi UPH yang memiliki minat terhadap art therapy, pengembangkan diri dan isu kesehatan mental.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait