Manusia adalah makhluk yang berelasi dalam kehidupannya. Hal tersebut menjadi dasar beberapa teori Psikologi. William Glasser, psikiater asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhannya, manusia perlu berelasi dengan orang lain, mengacu pada kebutuhan love and belongingness. Jika kebutuhan tersebut terusik, maka permasalahan yang lebih kompleks termasuk untuk memenuhi kebutuhan yang lain juga akan bermasalah. Hal senada juga dinyatakan oleh Abraham Maslow yang juga menyebutkan bahwa akar permasalahan patologi berasal dari masalah kebutuhan akan cinta dan perasaan dimiliki/kepemilikan (love and belongingness).

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia berelasi dalam berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk pertemanan. Namun, apa jadinya jika pertemanan yang dijalani malah menjadi pertemanan yang tidak sehat? Pertemanan yang tidak sehat ditandai dengan komunikasi yang tidak sehat (mengalami kekerasan verbal dan non-verbal secara lisan maupun tulisan), tidak adanya saling percaya, hingga kecenderungan mengalah demi memuaskan pihak lain. Pengalaman pertemanan tidak sehat yang saya pernah alami berupa makian dan kata-kata yang merendahkan dalam bentuk tulisan, juga pengalaman disalahkan/blaming untuk hal yang bukan kesalahan saya.

Artikel mengenai kesehatan mental dari berbagai sumber juga menyebutkan banyak tanda-tanda hubungan tidak sehat termasuk kecenderungan mendominasi oleh pihak tertentu pada pihak lain, hubungan yang tidak didasari kejujuran, tidak mendapatkan dukungan, bahkan mendapat kekerasan fisik. Ciri-ciri tersebut dialami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, oleh salah satu pihak dalam relasi tersebut—terutama phak korban. Pada titik tertentu, hubungan yang beracun ini akan menurunkan harga diri, menurunkan kebahagiaan, meningkatkan stress, menyalahkan diri sendiri (self-blaming), hingga menurunkan kebahagiaan, dan hal tersebut pernah saya alami. Pada kondisi yang ekstrim, hubungan beracun ini mendorong terjadinya depresi, hingga gangguan kesehatan mental.

Jadi apa yang harus dilakukan? Reaksi yang mungkin muncul biasanya berupa perasaan tidak menyenangkan dalam bentuk marah dan sedih karena mendapatkan perlakuan seperti itu. Namun, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah jika kita tidak berani keluar dari hubungan beracun. Relasi pertemanan yang aman dan pantas akan dilandasi kejujuran, memberikan rasa nyaman, keinginan untuk saling membangun kedua belah pihak, bukan keinginan satu pihak menyakiti pihak lain (sebagai korban).

Ketika kita sudah sampai pada tingkat menyadari dampak perlakuan bagi perasaan dan diri secara keseluruhan, diperlukan upaya berikutnya, misalnya berlaku asertif. Perlakuan asertif bisa dilakukan dengan mengungkapkan perasaan, pendapat dan ekspeketasi tindakan kepada pihak yang menyakiti. Contohnya, saat saya merasa marah, kesal, dan sedih mendapat perlakuan tersebut dan hal ini, saya mengungkapkan emosi tersebut kepada kawan saya dan menyatakan bahwa perlakuan yang tidak layak tersebut perlu dihentikan. Misalnya, dengan mengatakan “Saya tidak suka diperlakukan seperti ini. Saya berharap kejadian ini adalah kejadian terakhir dalam pertemanan kita.” Hal tersebut bisa diberikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Tentunya tidak mudah untuk bersikap asertif/tegas, apalagi jika relasi yang terbentuk sudah berjalan cukup lama.

Jika sudah berkali-kali mencoba untuk berlaku asertif dan tidak ada perubahan yang signifikan, waktunya untuk mengakhiri relasi pertemanan beracun. Perlu keberanian untuk mengambil keputusan bahwa kita harus menyudahi hubungan yang lebih banyak merugikan kesehatan mental kita. Satu hal yang perlu dicamkan adalah kita berharga dan layak diperlakukan dengan pantas.

Sometimes you need to give up on people, not because you don’t care but because they don’t.

OurMindfulLife.com

Author

  • Sandra Sutanto

    Full time lecturer at Faculty of Psychology UPH Child Psychologist at Klinik Anugerah GKI Gading Serpong Field of interest : Developmental & Health Psychology, Parenting

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait