Kehidupan manusia sarat akan perjumpaan yang dipenuhi dengan perayaan. Berjumpa dengan orang yang kita cintai, kelahiran buah hati, lingkungan/situasi baru yang dicari, kebebasan yang lama dinanti atau mungkin berjumpa dengan akhir pandemi. Perjumpaan membawa kelegaan, kebahagiaan, dan tentu sukacita yang menambah makna pada hidup kita sebagai manusia. Namun, untuk tiap perjumpaan yang penuh dengan perayaan, datang pula kehilangan. Kadangkala, perjumpaan dan kehilangan juga mampir bersama-sama dalam hidup kita. Misalnya, kita berjumpa dengan pekerjaan impian kita, tetapi juga kehilangan zona nyaman yang kita selama ini bersemayam.
Tiap kehilangan menorehkan lukanya sendiri. Kadangkala torehan kehilangan ini mudah kita tangani. Ia seakan pil pahit yang setelah kita telan kemudian hilang. Namun, pada saat yang lain, luka akibat kehilangan ini menimbulkan duka yang mendalam. Ketika ia datang kita seperti ditimpa beban yang berat. Tak cukup membuat kita menderita, kehadirannya membuat kita lelah hingga kita kewalahan. Mengusirnya terasa mustahil, dan kita terpaksa menyeretnya kemanapun kita pergi. Maka apa yang dapat kita lakukan? Pada saat seperti ini, welas asih dapat menghadirkan kehangatan di tengah kehilangan yang dingin dan mengisolasi.
Welas asih dalam bahasa Inggris disebut compassion yang diambil dari bahasa Latin compatio. Arti literal compatio adalah menderita bersama-sama. Ketika kita berwelas asih pada orang yang menderita, kita duduk bersama dengan penderitaannya. Kita mungkin ingat saat kita terluka akibat kehilangan dan orang lain berwelas asih pada kita, kita merasa tidak lagi sendiri dan beban kita rasanya lebih ringan. Telinga mereka yang terbuka mendengarkan rasanya memberikan kelegaan.
Sayangnya ketika menghadapi duka, kita mungkin enggan menyentuh luka kita. Kita mungkin terbiasa diminta untuk tampil tangguh dan kuat hingga berduka rasanya lemah dan payah. Kita mungkin enggan melihat luka kita karena takut hanyut dalam duka dan rasa sakitnya. Bisa jadi pula kita merasa kewalahan sehingga kita justru tidak lagi merasa terluka, hanya kebas dan mati rasa. Keengganan kita menyentuh duka dapat membuat kita tenggelam dalam pekerjaan, melakukan hobi berlebihan, olahraga tanpa jeda, atau spontan mencari pengganti dari apa yang hilang. Sesaat hal-hal ini memberikan kelegaan, tetapi lama kelamaan kita justru dirugikan. Awal pemulihan duka adalah kita sadar bahwa kita terluka akibat duka kehilangan dan duduk bersama dengan lukanya. Kita tidak hanyut hingga tenggelam dalam luka, tidak pula menghindarinya habis-habisan.
Ketika kita duduk bersama dengan duka, ia mungkin bicara bahwa kita perlu orang lain untuk menopang kita. Kehadiran mereka yang dapat memikul bersama beban ini tentunya akan dapat membantu kita di saat yang sulit ini. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat menjumpai orang-orang yang aman bagi kita untuk berbagi duka kita. Kita mungkin perlu kehadiran mereka yang bersedia duduk juga bersama dengan duka kita.
Duduk bersama duka di tempat yang aman bagi kita memberikan kita kekuatan untuk hidup bersama dengan kehilangan, terutama jika kehilangan ini meninggalkan ruang kosong di hati kita. Lama kelamaan, beban duka ini akan sanggup kita pikul dan kemudian bopong. Kehilangan menjadi bagian dari diri kita yang kita terima. Bagaimanapun, duka merupakan tanda dari cinta. Sebagaimana kita punya kapasitas besar untuk mencintai apa yang pergi, kita pun punya cinta yang besar untuk yang akan dijumpai.