Cepatnya pertukaran informasi di media sosial selain menyuburkan demokrasi, juga menimbulkan tantangan, yaitu masifnya penyebaran fake news. Fake news dianggap sebagai salah satu dari sepuluh bahaya teratas bagi masyarakat di seluruh dunia. Intervensi untuk mengurangi bahaya fake news ini telah dilakukan oleh para ahli dari berbagai bidang, baik teknologi informasi, komunikasi maupun psikologi. Intervensi dari teknologi informasi umumnya dilakukan melalui algoritma komputer, misalnya dengan mengurangi fitur filter bubble yang terdapat di media sosial. Filter bubble adalah aktivitas media sosial dengan menggunakan algoritma untuk memilihkan konten berdasarkan keterhubungan dengan konten yang sebelumnya dikonsumsi oleh pengguna media sosial. Intervensi untuk mengurangi fake news umumnya dilakukan dengan mengekspos pengguna media sosial dengan konten yang lebih bervariasi, sehingga memungkinkan pengguna mengakses informasi dari sudut pandang yang lebih beragam.
Program intervensi yang saat ini umum dilakukan adalah dengan fasilitas fact checker/cek fakta. Fasilitas ini dilakukan setelah berita tersebar, dan bisa dilakukan oleh mesin maupun oleh manusia. Cara kerja fact checker adalah dengan melakukan cross check berita dengan media sosial dan media massa utama, kemudian mengevaluasi dan menentukan apakah berita termasuk fake atau tidak. Penelitian menemukan bahwa fasilitas fact checker yang berfungsi untuk mengungkapkan kebenaran sebuah berita, ternyata tidak selalu efektif membuat individu beralih dan tidak mempercayai berita palsu tersebut. Kadang fact checker justru dianggap sebagai bias atau bahkan malah membuat pengguna beralih menggunakan platform media sosial lain yang tidak memiliki fasilitas untuk mengoreksi false beliefs mereka.
Selain pengembangan teknologi menggunakan pemahaman prinsip psikologis yang dikenal dengan “technocognition” yang saat ini masih dikembangkan, salah satu cara yang ditemukan efektif meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai keakuratan fake news adalah dengan latihan membuat fake news game. Pandangan ini didasari oleh inoculation theory, yang mengadopsi prinsip vaksinasi pada ilmu kedokteran, yakni sedikit paparan virus, justru mampu menangani paparan virus serupa di masa mendatang. Analogi ini juga disamakan untuk berita atau persuasi. Membekali seseorang dengan argument/counter argument, membuat orang tersebut lebih kebal “melawan” argumen di masa depan.
Tim peneliti dari University of Cambridge, Inggris, pada tahun 2019 melakukan sebuah riset untuk menguji efektivitas fake news game sebagai upaya menangkal penyebaran misinformasi daring. Seseorang dianggap lebih kebal terhadap fake news jika orang tersebut dibekali dengan jenis-jenis fake news. Di dalam game ini, peserta diminta untuk menciptakan artikel fake terkait dengan isu yang sedang marak di Eropa yaitu terkait dengan krisis pengungsi menggunakan empat taktik misleading yang berbeda-beda. Taktik pertama yaitu denier, yaitu upaya untuk membuat sebuah topik terlihat kecil dan tidak bermakna; alarmist, yaitu upaya membuat sebuah topik terlihat semakin besar dan sangat problematik; clickbait monger, yang bertujuan mendapatkan semakin banyak perhatian, mendapat like, diklik atau bisa menambah penghasilan iklan; terakhir, conspiracy theorist, yakni upaya menegasikan narasi dari berita arus utama dan menggiring opini pembaca sesuai dengan keinginannya. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pemberian keterampilan (skill) mengenai pemberikan game edukatif merupakan salah satu cara yang menjanjikan untuk mengurangi fake news.
Artikel ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah “The fake news game: actively inoculating against the risk of misinformation” oleh Roozenbeek & van der Linden (2019) yang diterbitkan di Journal of Risk Research.