Menyimak Kabar Perang Bersama Anak: Pentingnya Pendampingan Orang Tua dan Kesiapan Anak

Sejak Februari 2022 dunia tidak hanya dipertontonkan kabar pandemi, tetapi juga ketegangan militer yang berpusat di Ukraina. Hampir semua kanal berita televisi dan headline koran secara “vulgar” memperlihatkan realita yang mengaduk emosi kita semua, mulai dari tindakan agresi militer, perjalanan panjang pengungsi perang melewati perbatasan, hingga darah dan reruntuhan bangunan yang menyelimuti tubuh korban perang. Derasnya dan aksesibelnya informasi grafis terkait perang yang sedang terjadi juga tak terelakkan dari anak-anak kita meninggalkan “PR” baru bagi kita sebagai orang tua: perlukah anak-anak menyaksikan kabar perang? Bagaimana anak-anak secara tidak langsung terdampak oleh berita tentang perang? Dan apa yang dapat dilakukan orang tua dalam mengatasi dampak tersebut?

Perlukah anak-anak menyaksikan kabar perang?

Pada dasarnya tindak agresi sebagaimana dalam perang bukan lagi hal asing bagi anak-anak sekarang ini. Kisah perang sudah banyak dikemas dalam film, seperti Marvel atau DC yang banyak digemari anak. Stimulus visual dari film ini dapat membangkitkan emosi tertentu pada anak, tak terkecuali rasa takut dan cemas. Stimulus visual bisa lebih memberikan dampak negatif pada anak dalam konteks perang nyata, sebab adanya “kedekatan karakteristik” anak dengan korban perang sesungguhnya. Ketika menonton berita internasional misalnya, anak harus melihat bagaimana anak-anak lain harus terpisah dengan anggota keluarga lainnya yang lebih dulu gugur atau mengungsi di tempat yang berbeda, terlebih pada anak yang mungkin dalam keseharian harus berpisah dengan orang tuanya yang bekerja atau bahkan telah tiada.

Pentingnya pendampingan orang tua

Arus informasi yang semakin deras dan sumber berita yang makin beragam, menjadikan sulit bagi kita sebagai orang tua untuk membatasi anak menonton tayangan berita perang, dan ini membuat kita seolah tak punya pilihan selain membicarakannya dengan anak dan mengenali dampaknya bagi mereka. Menurut Dr Diane Treadwell-Deering, psikiater asal Texas, Amerika Serikat, idealnya orang tua harus mendampingi anak saat menyaksikan berita atau tayangan yang melibatkan situasi perang dan mengambil peran sebagai observer dan adviser.

Sebagai observer, orang tua perlu mengamati perilaku anak dan dapat lebih mudah mengenali perubahan-perubahan perilaku yang mungkin ditampilkan anak setelah terpapar stimulus tidak menyenangkan yang disajikan dalam kabar perang. Dalam beberapa kasus, anak yang terpapar konten kekerasan cenderung mudah merasa cemas dan takut sebab mereka mengira bahwa apa yang mereka saksikan di layar kaca juga dapat dirasakan secara langsung dalam keseharian. Ketakutan dan kecemasan yang irasional ini umumnya disalurkan anak lewat menangis tanpa alasan, melontarkan ujaran penuh kemarahan, ataupun keengganan ditinggalkan orang lain. Terpapar kabar perang sesungguhnya berbeda dengan menonton film superhero, sebab nalar dan moral anak teruji dengan tidak adanya tokoh fiktif yang bisa menyelematkan korban dengan senjata andalan, juga batas antara pahlawan dan korban yang sangat samar. Semua hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak anak, dan mereka membutuhkan pendampingan orang tua untuk mengurai pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sebagai adviser, kehadiran orang tua membantu anak mengembangkan nalar dan moralnya sebab anak akan mempertanyakan banyak hal yang ia lihat dalam kabar perang. Pertanyaan yang dilontarkan anak akan sangat beragam berdasarkan tahap perkembangan dan pengetahuan anak. Misalnya pada anak-anak usia SD awal, mungkin pertanyaannya akan mengacu pada hal-hal yang konkret seperti “apakah rumah kita juga bisa meledak seperti rumah mereka? siapa yang jahat? siapa yang menang?” Pertanyaan-pertanyaan anak soal perang sebenarnya bisa dianggap sebagai peluang bagi orang tua untuk mengasah nalar dan moralnya. Sebagi orang tua, pertanyaan anak perlu disikapi dan didiskusikan secara bijak dengan anak tanpa menumbuhkan ketakutan pada dunia, apalagi kebencian pada kelompok tertentu. Misalnya saja, jika orang tua menyederhanakan jawaban dari pertanyaan “siapa Putin dan siapa NATO” sebatas “Putin jahat, NATO baik”—atau sebaliknya. Apa dampaknya bagi anak? Anak tidak akan terbiasa melihat konteks atau alasan di balik setiap keputusan, dan sangat mungkin anak hanya melihat dunia dengan hitam-putih dan kurang terampil mengelola informasi yang ia butuhkan dalam membuat keputusan.

Menakar kesiapan anak

Pendampingan orang tua merupakan bentuk paling ideal untuk membantu kesiapan anak mengolah informasi mengenai perang. Akan tetapi, kondisi ideal ini sulit dicapai karena orang tua tentu memiliki keterbatasan dalam mengontrol informasi yang diterima anak sekaligus pengetahuan tentang perang itu sendiri sehingga tidak semua pertanyaan anak dapat dengan leluasa didiskusikan. Dengan demikian, di kala kondisi ideal ini jauh dari angan, maka orang tua perlu melihat kembali kesiapan anak dalam mengolah stressor atau stimulus yang tidak menyenangkan dari kabar perang. Coba ingat kembali, kapan terakhir kali anak menonton atau melihat tayangan kekerasan dan bagaimana reaksi mereka? Jika sekiranya anak menampilkan perubahan perilaku yang negative, maka sebaiknya orang tua sama sekali membatasi akses anak terhadap kabar-kabar perang, seperti membuat password untuk channel berita, mengatur jenis konten yang bisa muncul di Youtube anak dan memastikan tidak ada tayangan agresivitas yang muncul di layar tablet.

Sebaliknya, ketika kita sudah merasa bahwa anak-anak telah mendapatkan bekal (berupa kemampuan menalar dan menyaring informasi) yang cukup untuk menyimak kabar-kabar perang, maka sebagai orang tua tidak ada salahnya jika anak diberikan sedikit ruang untuk mengeksplorasi dan mengkonfirmasi apa yang telah diketahui. Misalnya, dalam kondisi tertentu anak sudah memahami bahwa perang yang terjadi di Ukraina tidak memberikan dampak langsung pada kehidupannya di Indonesia, maka dapat dikatakan anak telah dapat meregulasi pikiran dan emosinya tentang perang itu sendiri. Selanjutnya, orang tua tinggal memastikan bahwa tidak ada perubahan perilaku negatif yang ditampilkan, dan disinilah peran orang tua sebagai observer kembali dijalankan.

Author

  • Fitri Arlinkasari

    Inka is a lecturer at the Faculty of Psychology, YARSI University. Her current research topics are related to children's environment and young people's rights.

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait