Hingga saat ini, banyak anak yang mengalami kekerasan seksual. Apa itu kekerasan seksual? KBBI mengartikan ‘kekerasan’ sebagai sesuatu yang mempunyai sifat keras atau adanya sebuah paksaan dalam suatu perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau suatu barang, sedangkan ‘seksual’ sebagai sesuatu yang berkaitan dengan seks (jenis kelamin) atau perkara persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan. Apabila kedua pengertian istilah tersebut digabungkan, maka kekerasan seksual diartikan sebagai tindakan memaksa seseorang atau sekelompok orang yang berkenaan dengan seks, di mana tindakan tersebut menyebabkan adanya kerusakan pada korban.
Berdasarkan perundang-undangan di Indonesia, kekerasan seksual diatur dalam Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa setiap orang dilarang untuk menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Menurut John Locke, anak dalam perspektif psikologi adalah pribadi yang masih murni, namun di sisi lain juga peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kekerasan seksual dapat berdampak buruk terhadap psikologi anak. Terlebih, seringkali anak yang mengalami kekerasan seksual tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Ia takut untuk dianggap ‘berbeda’ oleh orang-orang di sekitarnya, karena ia pernah mengalami kekerasan seksual. Di sinilah orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga dan melindungi anak. Di antara peran orang tua tersebut adalah:
Pertama, orang tua harus selalu memperhatikan perkembangan anak, termasuk lingkungannya. Dengan begitu, orang tua dapat mengetahui apabila terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya.
Kedua, orang tua harus mengedukasi anaknya mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada anak, termasuk kekerasan seksual. Dengan demikian, anak diharapkan mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual dan tahapan apa sajakah yang harus ia lakukan apabila ia mengalami kekerasan seksual.
Ketiga, orang tua harus menumbuhkan kepercayaan yang dimiliki anak terhadapnya, sehingga apabila anak mengalami kekerasan seksual, setidaknya anak akan bercerita kepada orang tuanya. Anak tidak akan merasa sendiri dalam menghadapi situasi akibat kekerasan seksual tersebut.
Di samping itu, peran orang tua dalam melindungi anaknya telah diatur pula dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
- Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa suasana kehidupan keluarga merupakan tempat sebaik-baiknya untuk memberikan pendidikan, baik pendidikan individual maupun pendidikan sosial. Oleh karena itu, orang tua adalah pihak utama yang memegang peranan penting melindungi anak dari adanya kekerasan seksual, yaitu memberikan rasa aman agar anak tetap dapat menikmati hidup sebagaimana mestinya.