Perkembangan teknologi semakin cepat dan dinamis, bahkan terkadang memunculkan ide-ide yang bisa jadi tidak terbayangkan oleh kebanyakan manusia sebelumnya. Salah satunya adalah terkait dengan metaverse. Metaverse dapat diartikan sebagai suatu konsep lingkungan digital, yang menyediakan ruang yang menyerupai dunia nyata, yang dapat diakses antara lain dengan menggunakan augmented reality (AR), virtual reality (VR), serta blockchain, dengan didukung juga oleh sistem media sosial. Bahasa sederhananya, Metaverse ini memberikan kita ‘dunia sendiri’ dalam sebuah ruang virtual, didukung oleh berbagai fitur yang terhubung dengan dunia nyata.
Sisi menarik dari perspektif psikologis dalam fenomena ruang-ruang virtual seperti metaverse ini adalah, bagaimana sepertinya manusia mulai memiliki kecenderungan untuk meninggalkan realitas dunia nyata lalu beralih ke sebuah dunia yang dikreasikan sendiri. Ini hampir mirip seperti bagaimana banyak orang kaya atau juga ilmuwan yang punya ide gila memindahkan manusia ke planet Mars. Sementara di dalam film-film Hollywood yang kekinian, motif ini antara lain tersirat dalam konsep multiverse.
Saya tidak dapat mengklaim atau menebak apa sesungguhnya motif orang-orang menciptakan ide-ide atau imajinasi ‘ruang sendiri’ semacam itu, mengingat kajian khusus yang menyangkut metaverse dan teman-temannya itu dari ranah keilmuan psikologi masih sangat minim. Namun di ranah psikologi itu sendiri, sesungguhnya telah lama ada kajian serta konsep-konsep mengenai bagaimana seorang individu dapat menciptakan ruangnya sendiri. ‘Ruang’ di sini bukan sekedar ruangan secara fisik yang memisahkan diri kita dari dunia luar (ruang personal), seperti misalnya kamar tidur kita atau mungkin ruang rahasia. Terkadang kita tidak perlu capek-capek membangun ruangan semacam itu, atau mendekorasi kamar kita, apalagi sampai merenovasi rumah. Ruang personal itu bisa muncul dari pikiran kita sendiri, melalui mental imagery kita sendiri. Anda, bisa menciptakan Universe Anda sendiri.
Oke, melamun atau mengkhayal mungkin terdengar seperti perilaku yang malas atau malah hopeless. Padahal, kadang kita membutuhkannya untuk bisa membentuk ruang personal imajinatif itu tadi. Asalkan tidak menjadi aktivitas yang primer tentu saja. Akan lebih baik jika perenungan atau proses mengkhayal itu kita lakukan secara mindful alias terfokus secara penuh kepada yang sedang kita bayangkan hingga dapat merasakannya. Namun, jika pun tidak, juga tidak apa-apa. Kesadaran Alfa atau bahkan Beta sebenarnya sudah cukup, yang penting kita membangun Universe itu.
Bisa juga kita mengaplikasikannya dengan menciptakan cerita sendiri, berikut di dalamnya ada dunia kita sendiri, karakter-karakter yang kita inginkan, lalu dituangkan dalam sebuah tulisan. Tidak, saya tidak meminta Anda menulis cerpen atau novel. Tulisan yang acak atau sporadis juga cukup, yang penting itu bisa membantu kita melakukan proses mengkhayal tadi. Terakhir, semua itu tentu tidak cukup jika tidak didukung oleh adanya me-time, karena rasanya akan sulit jika Anda membangun Universe itu sambil berinteraksi dengan orang lain. Apalagi salah satu tujuan kita membangun hal itu adalah untuk being away sejenak dari tekanan eksternal kan, bukan malah mengundangnya.