Anak: Benarkah Sebagai Sumber Kebahagiaan?

Memiliki anak seringkali dianggap menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi pasangan menikah. Apalagi bagi pasangan yang tinggal di lingkungan dengan nilai pro natalis (mendukung kelahiran) yang kuat seperti Indonesia. Namun demikian, ternyata sebuah riset empiris yang dilakukan di Jerman menunjukkan bahwa tidak selalu pasangan orangtua lebih bahagia dibandingkan pasangan yang tidak memiliki anak. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengapa kehadiran anak tidak berdampak pada meningkatnya kebahagiaan pada orangtua. Secara khusus, penelitian yang diterbitkan tahun 2014 tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana cost yang dikeluarkan dalam membesarkan anak berperan dalam menurunkan kepuasan hidup. Lalu, mengapa kehadiran anak yang secara umum dianggap mendatangkan kebahagiaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya?

Dampak dari kehadiran anak dalam perkawinan terhadap kebahagiaan pasangan tampaknya dapat dikategorikan ke dalam dua perspektif, yaitu reward perspective yang melihat kehadiran anak dapat meningkatkan kebahagiaan pada orangtua, dan cost perspective yang melihat hadirnya anak justru mengurangi kebahagiaan orangtua. Secara umum, kehadiran anak dianggap mendatangkan kebahagiaan jika dikaitkan dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis (emosi, kasih sayang) maupun sosial (status, peran) orangtua. Di sisi lain, kehadiran anak dianggap mengurangi kebahagiaan jika dikaitkan dengan adanya beban waktu, psikososial, dan finansial bagi orangtua. Bagaimana dinamika kehadiran anak berdampak pada kebahagiaan orangtua, berusaha dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Matthias Pollmann-Schult ini dengan mengemukakan 4 faktor yang memengaruhi, yaitu jumlah anak, umur anak, status perkawinan, dan pekerjaan orangtua.

Dalam hal jumlah anak, kehadiran anak berdampak positif pada meningkatnya kebahagiaan orang tua, tetapi dampak positif ini terbatas pada anak pertama. Kehadiran anak kedua dan selanjutnya tidak lagi menambah kebahagiaan pada orangtua. Selanjutnya, kebahagiaan memiliki anak paling tinggi dirasakan oleh orangtua dengan anak bayi atau kanak-kanak berusia di bawah 2 tahun. Seiring dengan semakin bertambahnya usia anak, tingkat kebahagiaan mereka terus berkurang. Terkait dengan status perkawinan, ada perbedaan kebahagiaan pada orangtua yang menikah dibandingkan dengan orangtua yang bercerai. Akan tetapi, hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor tekanan psikososial, bukan terkait dengan kehadiran anak secara langsung. Terakhir, dampak positif kehadiran anak pada kebahagiaan orangtua mengalami penurunan jika dikaitkan dengan beban finansial (pada orangtua dengan satu pencari nafkah) dan tekanan psikososial (pada orangtua yang bekerja kedua-duanya).

Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa memiliki anak bisa menjadi merupakan sumber kebahagiaan bagi orangtuanya. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu, kebahagiaan tersebut tidak lagi dirasakan bahkan justru berkurang. Kondisi tersebut banyak berkaitan dengan beban finansil, waktu dan tekanan psikososial yang dirasakan oleh orangtua dalam proses membesarkan anak. Oleh karena itu, penting kiranya untuk membuat perencanaan dan persiapan matang ketika pasangan memutuskan untuk memiliki anak. Tanpa perencanaan dan persiapan yang matang, kehadiran anak bisa jadi justru menurunkan kebahagiaan orangtua.

 

Artikel ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah “Parenthood and Life Satisfaction: Why Don’t Children Make People Happy?” oleh Matthias Pollmann-Schult (2014) yang diterbitkan di Journal of Marriage and Family.

Author

  • Miwa Patnani

    Staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas YARSI yang memiliki minat penelitian dalam kajian tentang keluarga dan perkawinan

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait