Milenial dan Gen X: Apa dan Bagaimana Perbedaan Mereka dalam Dunia Kerja?

Perbedaan generasi, atau lebih dikenal sebagai generation gap, masih menjadi topik perbincangan yang hangat dibahas dalam dunia kerja. Dua generasi yang kini mendominasi usia produktif di dunia kerja, yaitu Generasi X dan Generasi Milenial kerap diperbandingkan dalam satu dan lain hal. Bagaimana kedua generasi tersebut dipandang dari sudut pandang sejumlah aspek yang bersinggungan dengan performa kerja mereka? Generasi X merupakan generasi yang lahir sekitar tahun 1965 hingga tahun 1980. Generasi ini sering disebut sebagai baby bust karena adanya penurunan angka kelahiran bayi yang signifikan dibandingkan generasi sebelumnya, yaitu baby boomer. Generasi ini dikenal sebagai generasi yang mandiri, pekerja keras, fleksibel, logis, dan pemecah masalah yang baik. Sedangkan, Generasi Milenial adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1980 hingga tahun 1995 pada saat teknologi telah maju dengan pesat dan memiliki penetrasi yang kuat di segala lini kehidupan. Generasi Milenial lahir dan besar di dunia yang menggunakan teknologi maju, semisal komputer, internet, smartphone, dan media sosial yang mendorong mereka menjadi generasi yang dekat dengan teknologi, atau bisa disebut sebagai digital native.

Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2014 berjudul “Managing The New Workforce: International Perspectives on the Millennial Generation“, Ng, Lyons, dan Schweitzer merangkum sejauh apa Generasi Milenial dan Generasi X memiliki perbedaan dalam sejumlah aspek. Aspek pertama, yaitu individualisme, terlihat cukup tinggi pada pekerja Generasi X karena mereka lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kepentingan bersama. Mereka juga cenderung untuk mendapatkan skor lebih tinggi untuk pengukuran harga diri. Dalam sampel mahasiswa pada tahun 1966-2010, generasi muda ternyata lebih cenderung untuk melihat dirinya di atas rata-rata bila dibandingkan dengan sesama mereka, misalnya, pada bidang akademik. Perbedaan lain antara Generasi Milenial dan Generasi X juga terjadi pada aspek narsisme. Generasi Milenial cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada sifat kepribadian narsistik. Sifat narsistik ialah rasa percaya diri secara berlebihan di dalam diri. Implikasinya, ketika sifat ini semakin tinggi pada saat bekerja, orang tersebut akan bereaksi berlebihan terhadap kritik. Orang dengan nilai tinggi pada aspek kepribadian ini juga kurang memiki kemampuan soft skill untuk bekerja secara harmonis di dalam suatu kelompok. Selain itu, mereka juga memiliki kemungkinan merasa berhak untuk menyalahkan orang lain atas suatu kegagalan serta termotivasi untuk mencapai kemenangan dan kesuksesan.

Selain itu, perbedaan Generasi Milenial dibandingkan dengan generasi sebelumnya juga terjadi pada aspek-aspek kepribadian Big Five, salah satunya adalah aspek ekstraversi. Sifat kepribadian ini terkait dengan ketegasan, suka bergaul dan berteman, emosi positif, serta pencarian hal-hal yang menyenangkan. Generasi Milenial diketahui lebih tinggi dalam aspek sifat kepribadian tersebut. Selain itu, mereka juga cenderung lebih nyaman dalam menyambut situasi yang baru dan dianggap lebih ‘ramah’ dengan orang baru. Dalam suatu studi perbandingan mengenai sifat kepribadian agreeableness pada tahun 1980 dan 2000-an pada mahasiswa Belanda, ditemukan terjadi peningkatan agreableness dalam kurun waktu tersebut. Sementara, pada penelitian lain di tahun 1979 dan 2008 pada mahasiswa Amerika justru terjadi penurunan empati.

Hasil studi lain berkaitan dengan kepribadian Big Five juga menunjukkan adanya peningkatan neurotisme tahun 1950-an hingga awal 1990-an. Data penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecemasan dari tahun ke tahun. Beberapa penelitian lain juga menemukan adanya peningkatan depresi yang berkorelasi dengan tingkat neurotisme ini. Meskipun demikian, beberapa penelitian lain justru menunjukkan penurunan, serta ada pula yang tidak mengalami perubahan termasuk studi dari Belanda dan Cina. Aspek kepribadian lain, openness to experience, juga diketahui berbeda antara kedua generasi ini. Generasi milenial lebih terbuka terhadap pengalaman baru, termasuk menikmati seni serta budaya, dan adanya keberadaan untuk ide baru serta cara berpikir. Sementara pada aspek kepribadian conscientiousness, justru ditemukan perbedaan yang berkebalikan. Para Generasi Milenial lebih cenderung untuk tidak bertanggung jawab, sementara generasi sebelumnya cenderung lebih merasa bahwa kegagalannya lebih disebabkan oleh nasib buruk. Perbedaan yang terakhir yaitu dalam aspek “life goals”. Ng dkk. menyatakan bahwa generasi milenial lebih terfokus untuk mendapatkan materi dalam hal mendapatkan status dan menghasilkan uang atau pendapatan serta ingin menjadi pemimpin dan tinggal dekat dengan orang tua atau kerabat. Mereka kurang tertarik dengan hal yang berbau politik dan segala urusan kemasyarakatan.

Dari apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa setiap generasi memiliki beberapa nilai aspek yang berbeda dibandingkan dengan generasi lainnya. Membandingkan karakter tiap generasi bisa menjadi penting bagi para pemangku kepentingan. Perbedaan ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan dalam memberikan reward ataupun intervensi bagi tenaga kerja di dalam perusahannya untuk dapat mencapai tujuan organisasi.

 

Artikel ini merupakan rangkuman dari buku “Managing The New Workforce (International Perspectives on the Millennial Generation)” oleh Ng, Lyons, & Schweizer (2014) yang diterbitkan Edward Elgar Publishing.

Author

  • Haliza Dwi

    Haliza Dwi Padmawati adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Yarsi yang memiliki minat di bidang Psikologi Industri

    View all posts
Bagikan artikel ini

Artikel terkait